Kamis, 11 November 2010

Arti Sonata "Hari-hari Meneteskan Air Mata"

Chika duduk termenung di kursi halaman rumahnya. Di tangannya terdapat foto seseorang yang sangat ia cintai. Orang itu mengingatkan Chika pada suatu kejadian yang buruk, sangat buruk. Bisa jadi itu adalah kejadian terburuk yang pernah dialaminya.


Chika teringat pada kejadian itu lagi. Saat itu, ia bersama adiknya, Thya, sedang bermain layang-layang di lapangan. Adiknya tak sengaja melepaskan layang-layang. Tanpa berpikir panjang, adiknya langsung berlari melewati jalan raya untuk mengejar layang-layangnya yang terbang. Karena tak melihat adanya mobil, Thya pun tertabrak mobil itu dan tewas seketika.

Sejak saat itu, Chika tak lagi menjadi anak yang ceria. Ia lebih banyak diam daripada berbicara. Ia tak lagi menjadi anak yang menyenangkan dan suka mengeluarkan humor segar seperti dulu. Sekarang, Chika adalah anak yang dingin dan terkesan terlalu serius.

Bila dulu Chika hobi bermain layang-layang, petak umpet, dan berbagai permainan lain bersama Thya, sekarang ia hampir tak memiliki hobi. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung di tempat sepi. Ia tak ingin ada siapapun yang mengganggunya ketika ia sedang merenung.

Tak terasa, bulir-bulir air mata membasahi pipi Chika. Ia menangis karena teringat masa-masa bahagianya bersama Thya.

"Mengapa harus engkau yang meninggalkanku, Thya, mengapa? Aku tak pernah sengaja melakukan kesalahan padamu, tetapi mengapa Tuhan mengambilmu secepat angin berlalu? Aku tak pernah berharap ini akan terjadi, karena hanya kaulah satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa. Sekarang, hidupku hampa tanpamu, Thya. Hidupku bagaikan makanan tanpa bumbu, tak berasa apapun. Kosong. Kalau saja aku harus mengorbankan sesuatu yang aku punya demi mendapatkanmu kembali, pasti akan kuberikan demimu, Thya! Tapi aku sadar, Tuhan pasti memiliki rencana dibalik semua ini. Ya, walaupun kau telah meninggalkan dunia ini, tetapi kau akan tetap hidup di dalam hatiku selamanya, Thya. Kau takkan pernah mati di hatiku. Hidup boleh sementara, tapi cinta akan ada untuk selamanya."

Ketika Chika menghapus air matanya, seseorang menepuk bahunya dengan keras.

"Apa yang kau lakukan disini, Chika?" kata orang itu.

Chika membalikkan badannya, kemudian berkata, "Risa, bukankah aku sudah bilang padamu, bahwa aku tak ingin diganggu oleh siapapun saat ini?"

Ternyata, orang yang menepuk bahu Chika adalah Risa, salah satu sahabat terbaik Chika. Risa bagaikan wadah bagi Chika untuk menumpahkan segala isi hatinya. Tak heran bahwa mereka berdua selalu bisa saling mengerti dan akur.

"Oh, maafkan aku, Chika. Aku lupa, hehe. Kelihatannya kamu sedang ada masalah, ya? Biar aku mendengarkan keluh kesahmu, Chika."

Chika menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan semuanya yang mengganjal hatinya.

"Kamu tahu, kan, bahwa Thya, adikku, meninggal 2 hari yang lalu? Sekarang aku baru merasakan rasa perih yang sesungguhnya setelah ditinggalkan olehnya. Rasa perih ini sepertinya takkan terobati oleh apapun, Risa. Mungkin kamu hanyalah satu-satunya obat yang manjur untuk mengobati luka hatiku,"

"Begitu, ya. Aku bisa mengerti, kok. Walaupun aku tak pernah mengalaminya, namun aku bisa merasakan perihnya hatimu sekarang ini, Chika. Tetap tabah, ya. Semua manusia pasti akan meninggal, termasuk Thya. Setiap ada awal, pasti ada akhir. Kita harus selalu kuat menghadapinya. Aku berjanji akan selalu menemanimu dan melindungimu selama aku masih bisa bernafas. Kita, kan, sahabat sejati!" kata Risa.

Risa merangkul Chika. Mereka pun saling berpelukan.

Tiba-tiba, Chika menarik tangan Risa dan membawanya ke dalam rumahnya.

"Tolong mainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' karya Wolfgang Amadeus Mozart untukku. Itu adalah sonata yang paling sering aku mainkan setiap aku merasa sedih. Sekarang aku ingin mendengar sonata itu dimainkan oleh sahabatku sendiri, agar terkesan spesial. Tolong, ya, Risa, aku sangat mengharapkanmu," kata Chika memohon.

"Hmm.... baik! Akan kumainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan penuh cinta untuk sahabat terbaikku, Chika." kata Risa.

Risa duduk di kursi, kemudian menekan tuts piano satu persatu. Ia memainkan piano dengan sangat serius, hingga air mata pun jatuh membasahi pipinya.

"Hari ini benar-benar hari meneteskan air mata, ya," kata Risa dengan suara bergetar.

Chika hanya mengangguk pelan. Ia terlalu lemah untuk berbicara. Kesedihannya semakin terasa setelah mendengar sonata gubahan Mozart itu.

"Ya, setiap hari adalah hari meneteskan air mata untukku. Terima kasih, Risa, atas permainan pianomu yang begitu menyentuh," isak Chika.

"Sama-sama, Chika. Aku juga senang bisa memainkan sonata yang indah ini untukmu. Mozart memang hebat, ya. Walaupun usianya sangat singkat, yaitu 35 tahun, namun ia bisa menciptakan banyak sekali sonata yang indah, seperti 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' ini," kata Risa.

"Kau benar, Risa. Akupun salah satu penggemarnya," balas Chika.

"Hmm... Chika, bolehkah aku memainkan sonata ini 2 hari sekali untukmu? Aku ingin sekali menghiburmu dengan sonata ini, karena kelihatannya kau sangat menyukainya," tawar Risa.

Chika terkejut. Ia menjawab, "Oh, benarkah kau mau melakukannya? Terima kasih, ya! Boleh, kok!"

"Oke, aku bisa, kok, mengatur waktunya. Jam berapa kira-kira aku bisa datang lagi ke rumahmu?"

"Hmm... kau bisa datang kira-kira jam 3 sore. Itu kalau kau ada waktu, ya. Kalau tidak bisa, tak apa-apa, kok, tapi tolong beritahu aku dulu kalau kamu tak bisa datang. Nanti aku bisa khawatir kalau kau tak memberitahuku kalau kau berhalangan,"

"Baik, Chika! Sampai ketemu lusa!" kata Risa sambil melambaikan tangan dan berjalan keluar dari rumah Chika.

"Dadah!" kata Chika sambil melambaikan tangan.

Tak terasa, sudah 5 kali Risa datang ke rumah Chika untuk memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata'. Sudah 5 kali pula Chika dan Risa menangis bersama setiap mendengarkan sonata indah itu.

Hari Selasa, Chika merenung di halaman rumahnya.

Meskipun langit telah berubah menjadi gelap, tetapi Risa tak kunjung datang. Entah mengapa, Chika merasakan suatu firasat buruk.

"Kira-kira apa yang terjadi dengan Risa, ya? Mengapa ia tak kunjung datang? Jangan-jangan... ah, aku tak boleh berpikiran buruk! Aku harus tetap optimis! Mungkin ia hanya terlalu sibuk dan tak sempat memberitahuku, bahwa dia berhalangan untuk datang," gumam Chika.

Keesokan harinya, Bu Rita, wali kelas 7A, mengumumkan sesuatu.

"Anak-anak, Bu Rita ingin mengumumkan, bahwa salah satu saudara kita, Marisa Ellina Putri, baru saja masuk rumah sakit Medicia untuk dirawat mulai hari ini. Soal penyakit yang dideritanya, Bu Rita sendiri belum tahu pasti. Yang jelas, ia sangat membutuhkan bantuan dan doa kita, karena sakitnya lumayan parah," kata Bu Rita di depan kelas.

Semua siswa mengangguk pelan.

Apa, Risa menderita penyakit parah dan dirawat di rumah sakit? Bukannya kemarin ia terlihat baik-baik saja? Sudahlah, mungkin nanti aku bisa menjenguknya di rumah sakit Medicia, batin Chika.

Keesokan harinya, setelah meminta izin dari orang tuanya dan membuat janji untuk saling bertemu dengan orang tua Risa, Chika langsung berangkat ke rumah sakit Medicia untuk menjenguk Risa. Ia melangkah tanpa henti, demi sahabatnya tercinta.

Ternyata, Risa dirawat di ruangan "Begonia". Beberapa hari sebelumnya, Risa dirawat di ICU. Setelah dokter memvonis penyakitnya, ia dipindahkan ke ruangan lain.

Setelah masuk, Chika langsung menghampiri tempat Risa berbaring. Wajah Risa terlihat pucat dan cekung, matanya terlihat lemah. Walaupun begitu, Risa masih bisa tersenyum ketika Chika datang.

"Halo, Chika. Terima kasih telah datang," kata Risa sambil tetap tersenyum.

"Risa, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau kemarin bisa masuk ruang ICU? Kata Bu Rita, kau menderita penyakit yang cukup parah," kata Chika.

"Oh, tidak juga, kok. Aku baik-baik saja. Hanya saja aku agak lemah, jadi untuk sementara aku harus beristirahat," kata Risa pelan.

"Baik-baik saja bagaimana? Lihatlah dirimu, kau terlihat sangat lemah! Kau harus memperhatikan kesehatanmu lebih dari apapun, Risa!" kata Chika panik.

"Jangan terlalu panik, Chika. Berdoa saja agar aku bisa segera kembali menemanimu dan teman-teman lainnya," kata Risa.

Tiba-tiba, Risa memegang daerah sekitar pingganggnya sambil berjengit.

"Ah, sakit!" keluh Risa.

Chika langsung panik. "Apa kau tak apa-apa, Risa?"

Gejala yang dialami Risa persis seperti seorang penderita penyakit ginjal.

"Aku tidak apa-apa, Chika. Tenang, ini sudah biasa, kok." desah Risa.

Walaupun Risa mencoba menenangkannya, namun Chika tetap tak bisa tenang melihat sahabatnya yang kesakitan. Ia langsung memanggil ibu Risa untuk menolong anaknya.

"Tante, tolong Chika sebentar! Risa mengerang kesakitan sambil memegangi daerah di sekitar pinggangnya! Apakah dia menderita penyakit ginjal, Tante?"

"Oh, begitu! Ya, dia memang menderita penyakit gagal ginjal, Chika. Dan setiap pukul 4 sore, ia harus cuci darah. Aduh, Tante lupa bahwa sekarang sudah saatnya ia cuci darah. Terima kasih karena telah memperingatkan Tante, ya, Chika. Kalau kamu tak mengingatkan, pasti Risa akan lebih lama kesakitan."

Chika sangat terkejut. Wajahnya berubah menjadi sangat pucat. Ternyata benar tebakannya, Risa menderita gagal ginjal. Ternyata, Risa mencontoh Mozart tak hanya dari bakat musiknya, tapi juga dari penyakit yang dideritanya.

Chika dan ibu Risa langsung menghampiri Risa dan membawanya ke ruang cuci darah. Mereka membawa Risa dengan kuris roda.

Dalam perjalanan pulang, Chika tak henti-hentinya berdoa demi keselamatan Risa. Ia tak ingin lagi kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Cukup Thya saja yang dipanggil dalam usia muda oleh Tuhan.

Setelah pulang, Chika membuat rencana besar. Ia menulis reklame yang berisi ajakan untuk menggalang dana untuk diberikan kepada Risa sebagai bantuan agar biaya rumah sakit tak begitu berat.

Keesokan harinya, Chika meminta izin kepada kepala sekolahnya untuk menyebarkan reklame ini di sekolah. Untungnya, kepala sekolah Chika, Bu Liana, sangat mendukung Chika. Bahkan, beliau mengumumkan hal ini di sekolah ketika upacara bendera, agar semua orang bisa memberikan bantuan untuk Risa.

Selama seminggu penuh, Chika selalu menjenguk Risa sepulang sekolah. Ia tak pernah lupa membawakan makanan rebusan untuk Risa, agar Risa aman memakannya.

Tak hanya berusaha menggalang dana dari teman-teman sekolahnya, tapi Chika juga mengajak orang tuanya untuk memasang iklan di koran. Siapa tahu ada orang yang membaca dan kebetulan ginjalnya cocok untuk didonorkan kepada Risa, sehingga Risa bisa selamat.

Beberapa hari kemudian, Chika kembali datang ke rumah sakit untuk menjenguk Risa lagi. Kali ini, ada suatu berita buruk yang pastinya sangat menyakitkan hati Chika dan keluarga Risa sendiri.

"Tante, Risa masih rutin cuci darah, kan?" tanya Chika.

Ibu Risa hanya menggeleng lemah.

"Lho, kenapa? Bukannya dia belum mendapatkan donor ginjal?"

Ibu Risa terdiam sejenak. Chika bisa merasakan, bahwa ibu Risa sedang bersedih.

Setelah menarik nafas panjang, ibu Risa berkata, "Kami tak memiliki biaya, Chika. Kami kehabisan biaya untuk membiayai cuci darah Risa. Sekarang, kami hanya bisa membiayai kamarnya saja..."

Ibu Risa menangis. Air mata membasahi pipi beliau. Chika pun bisa merasakan hal yang sama. Keduanya merasakan, bahwa sepertinya hidup Risa takkan lama lagi. Sebentar lagi, Risa akan dipanggil oleh Tuhan.

"Tabah, ya, Tante. Aku pasti akan berusaha berdoa dan membantu sebisa mungkin. Akan kulakukan yang terbaik demi keselamatan Risa," kata Chika sambil tersenyum kelu. Senyumnya terasa berat sekali.

Chika semakin rajin menggalang dana untuk Risa. Ia tak malu untuk meminta bantuan dari guru-guru, agar pendapatan semakin banyak. Bahkan, Chika pun menjual beberapa barang miliknya untuk mendapatkan uang lagi.

Selama berhari-hari juga, Chika menunggu seseorang mendonorkan ginjal untuk Risa. Namun, tak ada satupun orang yang sudah berusaha mendonorkan ginjalnya untuk Risa.

Setiap hari Chika membawa uang hasil pendapatannya kepada Risa. Hasilnya cukup baik, sekarang Risa bisa cuci darah lagi, walaupun tak rutin seperti dulu. Risa pun sekarang bisa mengikuti homeschooling untuk sementara agar ia tak tertinggal pelajaran dan Chika tak perlu susah-susah lagi menyampaikan pelajaran yang ia dapatkan di sekolah kepada Risa.

Saat malam tiba, Chika tak dapat tidur. Ia terus memikirkan Risa. Ia takut Risa tak dapat selamat. Hasil pendapatannya dari teman-temannya pun sedikit sekali, tak sebanyak kemarin. Sepertinya, Chika tak dapat menolong Risa lagi kali ini. Hasil penggalangan dana sedikit, dan tak ada orang yang mau mendonorkan ginjal untuk Risa. Hanya doa yang bisa Chika berikan untuk Risa.

Chika pun memutuskan untuk bermain piano. Ia memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' sambil merasakan kesedihannya yang dalam. Berharap Risa mendengarnya, walaupun itu rasanya tak mungkin.

"Tuhan, bila kau ingin mengambil Risa sekarang, maka ambillah. Namun buatlah hati hamba dan kerabat-kerabat hamba sabar dalam melepaskan Risa yang sangat kami sayangi. Sungguh, kami mencintainya lebih dari apapun," gumam Chika.

Sambil memandangi langit malam, Chika terus berdoa demi keselamatan Risa. Ia berharap Tuhan mendengar dan mengabulkan doanya.

Tiba-tiba, telpon rumah Chika berbunyi. Chika langsung mengangkatnya.

"Halo, dari siapa ini?"

"Chika, apakah ini kamu?"

"Ya, betul. Maaf, bisa saya tahu dari siapa ini?"

"Chika, tolong datang ke rumah sakit Medicia sekarang! Ini Tante Kelly, ibu Risa! Risa tiba-tiba mengerang kesakitan! Kami tak dapat membiayai cuci darahnya lagi, karena uang kami tak memadai untuk itu! Tolong, Chika, dia pasti akan lebih baik setelah bertemu denganmu!"

"Oh, begitu, ya! Oke, aku akan secepatnya kesana!"

Gagang telpon langsung ditutup oleh ibu Risa. Mendengar suara ibu Risa yang begitu panik, Chika pun juga ikut panik. Ia harus ke rumah sakit Medicia secepatnya!

Terpaksa Chika membangunkan orang tuanya untuk mengantarnya ke rumah sakit Medicia. Dengan memakai mantel, Chika bersama kedua orang tuanya bergegas ke rumah sakit Medicia.

Setelah sampai di rumah sakit Medicia, Chika langsung masuk ke ruangan "Begonia". Ia mendengar suara berjengit Risa yang sangat keras. Ia kelihatan sangat kesakitan. Di sebelahnya, kedua orang tua Risa terlihat sangat cemas akan keselamatan anaknya.

"Risa! Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Chika panik.

"Ini... bukan apa-apa, Chika... aku... tak apa-apa...." desah Risa.

"Tak apa-apa bagaimana? Kau terlihat sangat kesakitan!" teriak Chika.

Ibu Chika menepuk bahu Chika dan berkata, "Chika, jangan berteriak-teriak disini. Tolong tenang, kamu masih bisa, kok, menolongnya dengan doa,"

"Itu benar, Chika. Jangan terlalu panik. Justru kepanikanmu membuat Risa sedih, iya, kan?" kata ibu Risa.

"Betul kata ibuku, Chika... aku sangat sedih bila kau panik begitu, karena aku tak tega meninggalkanmu dalam kondisimu yang begitu sedih. Jangan sedih, ya, tolong! Bila hari ini Tuhan akan memanggilku, itu memang sudah takdirku, bukan karena salah siapapun, termasuk kau. Setiap yang lahir akan merasakan mati, begitu juga aku. Tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan hidup selamanya. Tolong jangan sedih kalau aku harus meninggalkanmu sekarang, karena aku ingin beristirahat untuk selamanya dalam kedamaian.

Chika hanya bisa terdiam. Ia berpikir sejenak, kemudian mengeluarkan sebuah kantong berisi uang hasil pendapatannya untuk Risa.

"Ini ada sedikit bantuan dariku dan warga sekolah kita, Risa. Tolong diterima, jangan dilihat dari jumlahnya. Mungkin ini sedikit, namun kami menyertai cinta kami di dalam uang ini untukmu. Tak lupa diiringi doa dari kami yang tulus. Aku ingin sekali uang itu bermanfaat bagimu dan keluargamu, bila Tuhan mengizinkan," kata Chika sambil menyerahkan uang kepada Risa.

"Aduh, terima kasih sekali, ya, Chika. Kamu memang sahabatku yang paling setia. Sampaikan juga ucapan terima kasihku kepada orang-orang yang ikut menolongku, ya," kata Risa sambil tersenyum tipis.

"Iya, pasti akan kusampaikan kepada mereka,"

Rasanya sangat bahagia ketika melihat senyum tipis Risa, menandakan Risa sangat senang dengan pemberian Chika dan teman-temannya. Syukurlah, semoga bermanfaat untuk Risa.

"Chika, tolong antarkan aku ke ruangan musik. Kamu tahu, kan, yang mana ruangannya?" kata Risa.

"Risa, keadaanmu tak memungkinkan untuk bermain musik. Aku tak bisa mengantarkanmu kesana," kata Chika tegas.

"Tolong, Chika. Aku ingin memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' untuk terakhir kalinya untukmu. Kurasa, ini akan menjadi permainan piano terakhirku, karena kurasa usiaku takkan lama lagi," kata Risa memohon.

Chika terkejut. Ia berkata, "Jangan berkata demikian, Risa! Apa kau tak sabar menunggu kematianmu sekarang? Apa kau sudah melupakan kami semua yang tulus mencintaimu sepenuh hati?"

"Tentu saja tidak, Chika. Justru aku berharap bisa hidup lebih lama, karena aku tak bisa meninggalkan kalian secepat angin berlalu. Aku masih menyayangimu dan orang-orang lain yang juga menyayangiku sepenuh hati. Tapi, siapa yang tahu kapan kematian akan menghampiriku? Maka aku ingin permainan pianoku ini menjadi penenang hati kalian, orang-orang yang menyayangi dengan tulus sepenuh hati. Tolong bawakan handycam ini untuk merekam permainan pianoku dan memfotoku saat bermain piano."

Chika membawa handphone yang dititipkan Risa kepadanya.

"Tante, Om, bolehkah aku membawanya ke ruang musik?" tanya Chika.

"Tentu saja boleh, Chika. Ia pasti senang bila kau mengizinkannya bermain piano," kata kedua orang tua Risa.

Chika pun meninggalkan ruangan "Begonia" bersama Risa. Mereka pergi ke ruang musik.

Setelah kursi tempat bermain piano disingkirkan dan diganti dengan kursi roda Risa, Risa mulai menekan tuts, namun tiba-tiba ia berhenti menekan tuts piano.

"Tunggu! Tolong rekam permainan pianoku dalam bentuk video. Setelah itu, tolong foto diriku ketika aku bermain piano,"

"Baik, Risa. Akan kulakukan yang terbaik untukmu,"

Risa mulai menekan tuts piano. Ia memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan penuh keseriusan. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik bagi Chika dan orang-orang yang disayanginya.

Setelah rekaman selesai, Chika langsung memfoto Risa ketika ia sedang menyelesaikan not terakhir sonata itu.

"Inilah permainan piano terakhirku. Kuharap kau menyukainya. Walaupun tak sebagus Mozart, namun aku berharap ini menjadi sonata terbaik yang pernah kumainkan untukmu," kata Risa.

"Iya, Risa. Kau akan kukenang selamanya, walaupun kau telah meninggal sekalipun. Kau akan hidup dalam hatiku untuk selamanya," kata Chika menghibur.

"Terima kasih atas hiburannya, Chika. Aku akan selalu menyayangimu juga. Tunggu..." tiba-tiba, Risa terjatuh dari kursi roda. Ia memegangi kepalanya sambil berteriak kencang.

"Ahh, nafasku... terasa... sesak! Otakku... serasa... mati rasa!" keluh Risa.

Chika terkejut. Ia memegangi tubuh Risa. Tubuh Risa bergetar, membuat tubuh Chika ikut bergetar. Badan Risa pun panas sekali.

"Risa, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau bisa seperti ini?" tanya Chika cemas.

"Sepertinya, hidupku... memang... sudah tak lama... lagi, Chika... kalau aku memang akan meninggal sekarang, tolong ambil ini..."

Dengan bersusah payah, Risa meraih secarik kertas dan diberikannya kepada Chika.

"Itu... adalah... puisi buatanku... sendiri... tolong disimpan, Chika..." desah Risa.

Chika melihat isi kertas itu. Isinya berupa puisi sederhana. Sebelum Chika sempat membaca, Risa berkata lagi untuk terakhir kalinya.

"Inilah saatnya aku meninggalkan semua orang, Chika.... terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku selama ini... sampaikan rasa terima kasihku juga untuk semua orang yang berjasa bagiku, terutama keluargaku dan teman-teman kita... ucapkan juga kata 'selamat tinggal' dariku ini. Chika, aku sangat mencintaimu sebagai sahabat, dan tentu aku tak ingin pergi sekarang, karena aku masih ingin menemanimu hingga akhir hayatmu. Namun, bila Tuhan berkehendak lain, apa yang bisa kulakukan? Maka aku hanya bisa mengucapkan 2 kata yang berarti, yaitu... selamat tinggal..."

"Tidak, kamu tak bisa pergi sekarang, Risa! Jangan tinggalkan aku sekarang!" teriak Chika.

Chika sangat terpukul. Ia melihat jasad Risa dengan penuh kesedihan. Pipi Risa membengkak seperti orang yang sedang bermain terompet, sama seperti Mozart. Air mata tak hentinya keluar dari kedua matanya.

"Mozart, apakah rasa sedihmu ketika ajal hampir menjemputmu sama dengan kesedihan Risa saat ajal hendak menghampirinya? Apakah rasa sakit yang kalian rasakan juga sama? Apakah kalian sama-sama telah berdoa kepada Tuhan untuk memperpanjang usia kalian, karena kalian belum siap meninggalkan orang yang kalian cintai?" gumam Chika.

"Constanze, apakah rasa sedihmu ketika Mozart, suamimu, meninggal dunia sama dengan rasa sedihku ketika aku kehilangan Risa? Apakah luka hatimu ketika itupun sama sakitnya dengan luka hatiku sekarang ini? Apakah kau juga berharap Tuhan mengembalikannya ke dunia, sama seperti diriku sekarang ini?" gumam Chika.

Chika memeluk jasad Risa erat-erat, walaupun ia tahu Risa tak dapat merasakannya. Tubuh Risa sekarang dingin, tak seperti dulu lagi. Dingin seperti es batu.

Kini, perih itu semakin terasa. Perih yang dulu sempat tersembuhkan oleh Risa sekarang terasa lagi. Bagaikan baju yang sobek tambalannya. Bagaikan genting yang bocor. Chika tak punya lagi "penambal" hatinya yang terluka setelah ditinggalkan oleh Thya, adiknya tercinta. Kini, ia hanya sendiri. Tak ada siapapun yang bisa menghiburnya seperti dulu ketika ia baru saja kehilangan Thya. Kini, kehidupannya kembali menjadi seperti makanan tanpa bumbu, tak berasa apapun.

Chika membawa jasad Risa ke ruang "Begonia". Orang tuanya dan orang tua Risa terlihat panik.

"Apa yang terjadi pada Risa? Mengapa kedua matanya terpejam?" tanya ibu Risa.

Chika segera memeluk ibu Risa sambil terisak.

"Maafkan aku, Tante... Risa... Risa... ia sudah... meninggal dunia..." isak Chika.

"Apa, meninggal dunia?" kata kedua orang tua Chika dan kedua orang tua Risa.

"Iya, betul... maafkan aku, aku tak tega membiarkannya mengeluh ingin memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata'," kata Chika.

"Kamu sama sekali tak bersalah, Chika. Justru Risa pasti senang karena ia bisa bermain piano untuk yang terakhir kalinya menjelang kematiannya," kata ibu Risa.

"Ini, Risa memberikan secarik kertas yang berisi puisi sederhana," kata Chika sambil menyerahkan kertas pemberian Risa.

"Oya, Tante pernah melihatnya menulis puisi itu, dan dia bilang, bahwa ia membuat puisi itu spesial untukmu, Chika. Kami harap kau menyukainya dan mau menyimpannya sebagai kenangan, karena Risa berharap begitu," kata ibu Risa.

"Pasti, Tante! Aku akan mengenangnya sebagai pemberian Risa yang terindah. Oya, ini video Risa saat ia bermain piano untuk yang terakhir kalinya,"

Chika menyerahkan handycam Risa kepada ibu Risa. Mereka semua, bersama kedua orang tua Chika, menonton video itu. Mereka semua menangis ketika menyaksikan video itu.

"Memang hebat, ya, Risa itu. Walaupun ia lemah, tetapi ia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk kita semua," kata Chika.

"Ya, memang benar begitu, Chika. Dia lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Maka sulit rasanya untuk menghalanginya menolong orang lain," kata ibu Risa.

Dengan berat hati, Chika pulang ke rumahnya bersama kedua orang tuanya. Dalam perjalanan pulang, ia lebih banyak diam. Ia masih terpukul dengan kematian Risa.

Keesokan harinya, Chika bersama kedua orang tuanya menghadiri acara pemakaman Risa. Bulir-bulir air mata tak hentinya keluar dari kedua matanya, melambangkan kesedihannya. Begitu pula dengan kedua orang tua Chika, mereka ikut bersedih atas kepergian Risa yang begitu cepat. Risa memang anak yang baik, ramah, dan suka menolong, maka tak heran jika kedua orang tua Chika pun menyukainya.

Chika memegang batu nisan Risa sambil berkata, "Risa, walaupun jasadmu telah dikubur dalam-dalam di dalam tanah dan jiwamu tak lagi berada di dunia ini, tetapi dirimu yang sesungguhnya tetap dalam hatiku untuk selamanya! Hidup boleh sementara, tapi cinta untuk selamanya! Dan kau takkan pernah bisa kulupakan untuk selamanya, aku berjanji takkan melupakanmu, Risa. Selamat beristirahat dalam kedamaian, ya. Kuharap Tuhan menjadikanmu sebagai penghuni surga,"

Hari Senin pun tiba. Chika berangkat ke sekolah. Rasa sedih karena ditinggalkan oleh Risa masih terasa dalam hatinya. Rasa sakit itu semakin terasa ketika ia melangkah. Biasanya, Risa selalu menyapanya ketika ia memasuki kelas, namun kali ini tak ada siapapun yang menyapanya. Teman-teman sekelasnya hanya memandangnya.

"Apakah kamu tahu penyebab Risa tak pernah kembali ke sekolah lagi, Chika?" tanya Nilla, salah satu teman sekelas Chika.

Chika menggeleng. "Aku tak tahu pasti. Coba kau tanyakan pada Bu Rita, ya, mungkin beliau tahu,"

Pada saat upacara bendera, kepala sekolah Chika, Bu Liana, berpidato dengan tema tentang wafatnya Risa kemarin.

"Anak-anak, mari kita berdoa bersama untuk ketenangan Marisa Ellina Putri. Berdoa.... mulai."

Selama 1 menit, seluruh warga sekolah berdoa bersama untuk Risa. Beberapa diantara mereka bahkan meneteskan air mata, termasuk Chika.

Setelah 1 menit berlalu, Bu Liana berkata, "Berdoa selesai. Mari kita dengarkan sebuah puisi yang akan dibacakan oleh... Chika Merryana!!!"

Tepuk tangan membahana di seluruh sekolah. Chika maju ke depan sambil membawa secarik kertas pemberian Risa yang berisi puisi karangan Risa.

"Teman-teman, tolong dengarkan sebentar sebuah puisi dari sahabat kita, Marisa Ellina Putri. Saya akan membacakannya, mohon dipahami isinya," kata Chika serius.

Chika berdeham 3 kali, kemudian mulai membaca puisi.

"Ku teringat masa kecilku diwaktu lalu,
Ketika itu, ku bermain bersama sahabatku di bumi ini
Menikmati indahnya dunia ciptaan Tuhan
Saat ku memandang langit biru dan pohon hijau
Ku bertanya dalam diriku sendiri,
Apakah keindahan ini hanya untuk sebentar saja?
Kapankah Tuhan akan memanggilku,
kemudian menghentikan keinahan ini kunikmati?
Masih seberapa lama lagi jatah hidupku?

Namun ku sadari,
tak ada gunanya menerka tanggal kematianku
Aku berusaha terus melangkah,
tanpa mempedulikan kapan aku akan mati
Terus kunikmati masa hidupku dengan bahagia
bersama orang-orang yang kusayangi

Suatu hari, Tuhan memperingatkanku sesuatu,
bahwa hidupku takkan bertahan lebih lama
Namun kubantah ilham Tuhan itu
Ku selalu berdoa alam kegelapan malam
Tuhan, perpanjanglah umurku
Aku tak ingin meninggalkan orang yang kusayangi
secepat angin berhembus

Namun, Tuhan kelihatannya berkata lain
Ia memberiku penyakit yang parah
Setiap hari aku menahan sakit yang sangat
Namun Tuhan juga peduli padaku
Ia memberiku banyak orang yang menyayangiku
Aku bagaikan larva dilapisi banyak kepompong
Orang tuaku, sahabatku, dan sahabat terbaikku,
Chika Merryana

Chika adalah malaikat penyelamat bagiku
Walaupun ia tak dapat menyelamatkanku dari kematian,
namun ia berusaha untuk menolongku dari keterpurukan
Ia mengorbankan tenaga dan harta demi diriku
Ia berusaha menolongku sekuat tenaga
Dan aku sangat berterima kasih padanya

Tuhan, Kau boleh ambil nyawaku ini,
tetapi tolong tenangkan hati mereka,
orang-orang yang menyayangiku
Berikanlah ketabahan pada mereka
ketika Engkau telah memanggilku
Jangan buat mereka sedih karena kepergianku
Jadikanlah mereka manusia penghuni surga
Agar mereka bisa berbahagia disana.

"Kawan-kawan, sadarlah!
Tak ada satupun yang abadi di dunia ini,
termasuk aku yang lemah
Kita semua bagaikan kupu-kupu
Yang akan pergi setelah menghisap nektar
Kita bagaikan seorang musafir
Yang singgah sementara untuk istirahat
Maka jadilah angin yang berhembus sementara,
namun menyejukkan banyak orang
Ingatlah, kawan-kawan!
Hanya Tuhan-lah yang abadi
Bila kau mencintaiku
Jangan berharap aku kan abadi
Bila kau mencintai Tuhan
Bersenanglah, karena Dia akan hidup selamanya."

"Sekian puisi dari sahabat kita ini, kawan. Semoga kalian bisa menghayati isi puisi ini," kata Chika mengakhiri puisinya.

"Ya, itulah puisi dari kawan kita, Chika! Beri tepuk tangan!" kata Bu Liana.

Seluruh warga sekolah bertepuk tangan untuk Chika. Chika pun bahagia, karena tak merasa sendirian lagi sekarang.

Di kamar tidurnya, Chika menjejerkan 3 foto. Foto pertama adalah foto Wolfgang Amadeus Mozart, komponis favoritnya. Foto kedua dan ketiga adalah foto Thya dan Risa. Kisah hidup Thya dan Risa hampir sama. Walaupun mereka hanya hidup sangat sebentar, namun mereka menyisakan sejarah yang akan terkenang untuk selamanya. Mereka tetap hidup dalam hati orang-orang yang menyayangi mereka. Jasa mereka akan dikenang semua orang dan takkan terlupakan. Itulah harapan Chika bagi mereka semua.

Akhirnya, Chika menyadari, bahwa ia masih memiliki banyak sekali orang yang sangat menyayanginya, tak kalah dengan Thya dan Risa. Ia tak sendirian, karena masih banyak orang yang siap menolongnya di saat ia kesulitan, seperti halnya Thya dan Risa. Tak seharusnya ia menangisi hal dan apapun yang telah berlalu. Tuhan pasti memiliki rencana dibalik semua musibah ini. Seperti apa yang dikatakan Risa, setiap ada awal, pasti ada akhir. Setiap yang pernah lahir akan merasakan mati. Tak ada gunanya mengharapkan orang yang sudah meninggal untuk kembali lagi ke dunia ini.

Chika memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan khidmat. Tak seperti sebelumnya, Chika tak lagi menangis ketika memainkan sonata ini. Justru ia merasa Thya dan Risa semakin "hidup" dalam hatinya. Nyawa mereka seolah berpindah ke dalam dirinya.

"Aku harus semangat untuk menyambut masa depan! Walaupun tak bersama Thya dan Risa, tetapi aku akan tetap berjuang! Mereka, kan, akan hidup dalam hatiku untuk selamanya. Selama darah masih mengalir, selama jantung masih berdetak, dan selama aku masih bisa bernafas, aku harus mempertahankan perjuangan hidupku ini hingga hidupku berakhir! Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil!" teriak Chika.

Yeah, it's time to begin a new life!









































Kamis, 26 Agustus 2010

Akibat Rasa Iri

Di upacara hari Senin minggu ini, akan ada satu hal yang sangat membanggakan bagi SDN 2. Salah satu siswi kelas 6 telah meraih prestasi di luar sekolah.

Upacara berjalan seperti biasa, hingga saat paling ditunggu-tunggu pun tiba.

Bu Ola, kepala sekolah SDN 2, maju ke depan, kemudian memegang mike sambil berkata, "Anak-anak yang Bu Ola cintai, ibu akan menyampaikan sebuah berita gembira,"

Beberapa diantara murid yang sedang berbaris pun bertanya-tanya. Apakah berita gembira yang akan disampaikan oleh Bu Ola?

"Kemarin, siswi kelas 6 sekolah kita telah meraih sebuah prestasi membanggakan. Dia telah memenangkan lomba menulis dan membaca puisi tingkat nasional. Siswi itu adalah...... Milly Tiara!!!"

Milly, anak yang tadi disebut namanya, langsung kaget. Ia berhasil memenangkan lomba yang kemarin ia ikuti?

Dengan tubuh gemetar, Milly maju ke depan lapangan upacara.

"Inilah Milly, siswi yang berhasil mengharumkan nama sekolah kita dengan meraih juara 1 lomba membuat dan membaca puisi tingkat nasional!" kata Bu Ola bangga, yang langsung disambut dengan tepuk tangan riuh.

Setelah upacara selesai, ada sesuatu yang berubah. Ira, sahabat Milly, tak pernah mau menyapa Milly lagi, padahal sebelumnya ia sangat sering menyapa Milly dan mengajaknya bermain bersama.

Milly pun mencoba mendekati Ira. Ia berkata, "Ira, mengapa kamu tak mau menyapaku lagi? Apa salahku? Katakan saja apa salahku, aku akan berusaha memperbaikinya,"

Ira tak menggubris pertanyaan Milly. Ia segera pergi meninggalkan Milly.

Keesokan harinya, Milly bertanya ke Ira lagi.

"Ira, tolong beritahu aku, mengapa kamu tidak mau bicara denganku lagi? Apa kamu hanya tak punya waktu untuk bicara denganku? Atau mungkin kau tak mau lagi berteman denganku, karena aku memberikan pengaruh buruk untukmu? Tolong katakan yang sebenarnya, Ira! Aku berjanji, aku takkan marah! Aku akan berusaha mengubah sifatku menjadi lebih baik!" kata Milly.

Kali ini, Ira mau menjawab. Ia berkata, "Semua tebakanmu salah, Milly. Aku takkan memberitahumu alasan yang sesungguhnya, jadi silakan tebak sendiri. Kamu tak perlu memohon-mohon seperti itu, Milly. Bukankah kau punya segerombol teman yang sanngat setia padamu? Bahkan, banyak sekali teman lain di luar sana yang sampai memohon-mohon untuk jadi sahabatmu. Ambillah saja mereka, mereka, kan, jelas-jelas ingin sekali jadi sahabatmu,"

"Tapi sahabat yang aku pilih adalah kamu, Ira, bukan mereka! Kamu lebih berarti untukku, karena kamu selalu ada di saat aku membutuhkan!"

"Bukankah para penggemarmu selalu mengikutimu dimanapun kamu berada? Bukankah mereka selalu menawarkan pertolongan untukmu? Mereka memperlakukanmu seperti seorang ratu! Sadarkah kamu?"

"Tapi mereka tak pernah bisa mengerti perasaanku, Ira, tidak seperti kamu! Kamu selalu mengerti perasaanku! Aku bingung, mengapa kamu berubah drastis sejak upacara tadi?"

"Harusnya kamu tahu, kan? Bukankah tadi kau bilang bahwa kita adalah sahabat?"

"Betul, Ira! Tapi tingkahmu membuatku bingung!"

Ira tak menjawab. Ia segera pergi meninggalkan Milly tanpa sepatah kata apapun.

"Ira! Ira! Tunggu! Tidaak!!!" teriak Milly.

Ira tak menghentikan langkah kakinya. Ia tak peduli, walaupun Milly terus memohon maaf padanya.

Keesokan harinya, Milly terus mencoba hal yang sama, hingga akhirnya ia lelah.

Milly memiliki trik baru untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat Ira menjauhinya.

Milly menghampiri Indah, sahabat Ira, ia berkata, "Indah, bolehkah aku minta tolong untuk sesuatu?"

"Boleh, kok,"

"Aku ingin meminta tolong agar kamu menanyakan kepada Ira, mengapa dia menjauhiku? Kamu, kan, sahabatnya, jadi aku minta tolong padamu,"

Indah berpikir sejenak, kemudian berkata, "Oke, akan kulakukan sebisaku!"

"Terima kasih, Indah,"

"Sama-sama, Milly!"

Indah segera melakukan misi yang diberikan Milly. Ia menghampiri Ira dan berkata, "Ira, apa ada hal yang ingin kamu ceritakan padaku?"

Ira hanya menggeleng.

"Apa kau yakin? Apa ada teman yang mengganggumu? Aku, kan, sahabatmu, jadi aku takkan membocorkannya ke siapapun,"

Ahirnya, Ira mau menjawab. Ia berkata, "Sebenarnya, aku punya masalah dengan Milly. Aku merasa iri dengannya. Setelah dia menjadi juara 1 lomba menulis dan membaca puisi, teman-teman mengidolakannya. Bahkan, sahabat-sahabatku berpaling dariku. Mereka menganggap aku ini tida ada apa-apanya dibandingkan Milly. Aku juga mau dihargai seperti Milly! Aku mau memiliki kemampuan yang hebat seperti Milly, agar teman-teman juga mau menjadi sahabatku!"

"Begitu, ya," kata Indah.

"Iya. Terima kasih, ya, rasanya lebih lega setelah curhat denganmu," kata Ira.

"Sama-sama. Kita, kan, sahabat,"

Setelah itu, Indah segera memberitahu Milly apa yang ia dengar dari Ira.

"Begitu, ya," kata Milly. "Maukah kamu menemani aku untuk menemui Ira?"

"Boleh," kata Indah.

Milly dan Indah segera menghampiri Ira.

"Ira, aku sudah tahu semuanya," kata Milly.

Ira mulai takut. "Tahu apa?"

"Jangan pura-pura ta tahu, Ira. Aku sudah tahu mengapa kamu menjauhiku baru-baru ini," kata Milly tenang.

"Kau, kau, kau tahu darimana?" kata Ira gugup.

"Dari aku," kata Indah.

Wajah Ira langsung berubah menjadi merah padam. Ia berkata, "Indah! Aku percaya padamu tapi mengapa kamu mengkhianati kepercayaanku?"

"Ini semua demi kebaikan, Ira," kata Indah.

"Ira, kita semua punya kelebihan masing-masing. Aku memiliki kemampuan di bidang puisi, dan kau memiliki kemampuan sendiri. Kita semua tercipta dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada orang bodoh di dunia ini. Semua orang di dunia ini punya potensi untuk sukses," jelas Milly.

"Sudahlah, jangan sok pintar didepanku! Aku telah mengakui kehebatanmu, jadi jangan menggangguku lagi! Pergilah bersama para pengagummu! Mereka lebih membutuhkanmu!" kata Ira kesal.

"Ira, ingatkah kamu saat aku masih kelas 1 SD?" tanya Milly.

"Ya, aku ingat. Memangnya kenapa?"

"Begini," kata Milly. "Dulu, aku bukan termasuk siswi yang berprestasi. Aku sering mendapat hukuman dari guru akibat kenakalanku. Aku sering melanggar peraturan. Pokoknya, dulu aku adalah murid paling nakal dan disebut sebagai anak yang paling payah di kelas. Ingat, kan?"

"Itu, kan, dulu, Milly! Sekarang, kamu telah berubah! Kamu telah menjadi siswi paling pintar di kelas, dan semua murid mengidolakanmu, karena kamu cantik, pintar, dan berbakat!" keluh Ira.

"Nah, itulah jawaban yang tepat untuk pertanyaan 'Mengapa Milly bisa berubah?'!" kata Milly.

"Apa maksudmu?" kata Ira bingung.

"Aku bisa berubah, dari anak nakal dan payah, menjadi anak yang berprestasi, karena aku berusaha untuk berubah. Tadinya, aku terus membiarkan diriku menjadi anak nakal, tetapi orang-orang yang mencintaiku menyadarkanku, bahwa aku harus berubah. Aku pun menyadari sifat burukku itu, kemudian aku berusaha memperbaiki sifat burukku.

"Perbedaan antara orang sukses dan orang gagal adalah, orang sukses adalah orang yang berusaha, kemudian ia gagal. Walaupun ia gagal, ia tak menyerah untuk terus mencoba hal yang ia inginkan. Sedangkan orang gagal adalah, orang yang mencoba, kemudian ia gagal. Ia putus asa dan menghentikan langkahnya.

"Perbedaan orang gagal dan orang sukses hanya satu: Cara mereka meraih cita-cita. Sekarang, kitalah yang bisa menentukan, apakah kita bisa menjadi orang gagal atau orang sukses. Bila kau mau menjadi orang sukses, maka lihatlah jalan kedepan! Tataplah masa depan, dan siapkan diri untu berperang menghadapi rintangan yang ada! Jangan langsung menyerah bila kegagalan menerpamu.

"Jadilah ksatria yang pemberani, bukalah dirimu, janganlah mengurung diri! Janganlah mengeluh ketika penderitaan menerpamu, karena penderitaan adalah syarat untuk menjadi sukses. Anggaplah penderitaan sebagai ujian untuk menjadi sukses, dan untuk lulus, kita harus bersemangat untuk terus melangkah tanpa memedulikan penderitaan yang terus menerpa diri kita. Hadapi penderitaan dengan santai, karena dengan begitu, penderitaan takkan memberatkan kita.

"Janganlah menyediakan ruangan sedikitpun untuk putus asa, karena dengan menyediakan ruangan sesempit apapun, rasa putus asa akan menjalar ke seluruh tubuhmu bagaikan racun.

"Putus asa bagaikan racun dan benalu. Jika ia sudah masuk ke hatimu, ia akan mengambil semangatmu, membuatmu menjadi tak berdaya dan lemah. Maka, kita harus menjauhi putus asa. Cara untuk menghindari putus asa adalah: Tingkatkan rasa percaya diri, anggaplah bahwa rintangan adalah ujian untuk lulus menjadi orang sukses, jangan pernah berhenti melangkah menuju kesuksesan, dan yang lebih penting lagi: Jangan engkau pandang rendah dirimu sendiri.

"Bila kau memandang rendah dirimu, kau takkan pernah bisa menjadi orang sukses, karena kau percaya, bahwa dirimu adalah seseorang yang bodoh, payah, dan tak berbakat. Bila kau memandang tinggi dirimu, maka kau bisa menjadi orang sukses, karena kau percaya, bahwa kau memiliki potensi untuk maju, dan kau berusaha untuk mengasah potensimu itu.

"Bila kau telah menjadi sukses, maka janganlah menjadi sombong, karena sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Janganlah sombong karena apa yang kau punya, karena bila suatu saat kau terjatuh, kau akan merasakan rasa malu yang sangat,"

Ira menunduk. Ia pun menyadari, bahwa selama ini ia terlalu rendah diri. Ia sangat berterima kasih pada Milly, karena telah menyadarkannya.

"Milly?" kata Ira.

"Ya, Ira?" kata Milly.

"Aku, aku, aku minta maa atas semua kesalahanku. Aku terlalu rendah diri, dan akhirnya aku menyalahkanmu atas kesalahan yang sama sekali bukan ulahmu. Aku benar-benar menyesal, Milly. Aku berjanji untu tidak mengulangi perbuatanku lagi untuk selamanya," kata Ira.

"Sama-sama, Ira. Aku memaafkan semua kesalahanmu. Maafkan aku juga, ya, bila au pernah bersalah padamu," kata Milly senang.

Kedua sahabat itu pun berjabat tangan dan berpelukan. Akhirnya, masalah antara mereka terselesaikan, dan Milly dan Ira kembali bersahabat.








Rabu, 28 Juli 2010

Miraculous Book

Selvy berjalan lemas ke rumahnya sambil menggendong tas sekolahnya.

Kenapa, sih, aku tidak bisa menghafal isi buku paket dan catatanku? Pikir Selvy.


Saat masuk rumah, Selvy langsung menaruh tas dan membaringkan dirinya ke tempat tidur. Ia memikirkan hal-hal yang hari ini terjadi di sekolahnya.

Mungkin hari ini adalah hari terburuk dalam sejarah hidupnya, karena ia mendapat nilai terendah dalam pelajaran IPS, yaitu 40. Maklum, pelajaran ini memang pelajaran yang paling tak disukai Selvy. Alasannya adalah, Selvy tidak menyukai pelajaran yang harus menghafal.

Selvy membuka tas ransel kesayangannya dan mengambil buku khusus untuk mencatat tugas miliknya.

Hari Kamis ada ulangan IPA tentang Ciri-ciri Makhluk Hidup. Ahh, lagi-lagi aku harus menghafal. Kapan, sih, aku bisa bebas dari hafalan? Pikir Selvy.

Dengan bermalas-malasan, Selvy mengeluarkan buku IPA dan membacanya sekilas di meja belajar, tak lebih dari 1 menit. Setelah itu, ia langsung memasukkannya kembali ke rak buku.

Tak jarang Selvy bermalas-malasan ketika belajar. Ia memang bukan murid berprestasi di sekolahnya. Ia tak pernah masuk peringkat 10 besar. Berprestasi di luar sekolah pun juga tidak pernah.

Hal ini terjadi bukan karena tidak ada dukungan dari orang-orang di sekitarnya, tetapi justru sebaliknya. Selvy menganggap bahwa prestasi bukanlah hal yang penting. Ia juga menganggap bahwa dirinya bukan orang yang cerdas, dan ia berpendapat bahwa dia takkan bisa menjadi cerdas, walaupun ia belajar siang dan malam. Inilah hal-hal yang menghambat Selvy untuk menjadi murid berprestasi.

Saat Selvy sedang berbaring diatas tempat tidur, handphone-nya berbunyi. Ada seseorang yang menelponnya.

Dengan bermalas-malasan, Selvy mengambil handphone-nya dan mengklik tombol untuk menerima panggilan telepon. Ternyata, yang menelponnya adalah Angel, teman sekelasnya yang sering mendapat peringkat 1.

"Halo, Angel! Ada apa, kok, menelponku sore-sore begini?"

"Halo juga, Selvy! Begini, apa benar kamu mendapat nilai 40 saat ulangan IPS?"

"Iya, kenapa?"

"Tidak, aku hanya ingin bertanya saja,"

"Begitu, ya," kata Selvy. "Tolong jangan beritahu nilai ulangan IPS-ku ke siapapun yang belum mengetahuinya. Kalau mereka bertanya, jawab saja kalau kamu tidak tahu. Aku percaya sekali denganmu, karena kamu sahabatku yang paling kusayangi,"

"Tentu saja aku takkan memberitahunya kepada siapapun,"

"Oke, terima kasih, Angel! Apa ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?"

"Oh, tidak, Selv. Sampai jumpa lagi di sekolah!"

Angel memutus teleponnya.

Apa, sih, tujuan Angel meneleponku? Bukannya dia sudah tahu bahwa aku mendapat nilai 40 saat ulangan IPS? Jangan-jangan dia ingin menyita waktuku agar aku tidak bisa belajar untuk ulangan IPA! Pikir Selvy.

Keesokan harinya, Selvy berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Setelah turun dari mobil, ia langsung masuk ke kelas. Satu-satunya hal yang membuat Selvy semangat adalah, hari ini hari ulang tahunnya!

Ternyata benar prediksi Selvy bahwa teman-temannya menyiapkan kejutan untuknya. Setelah masuk ke kelas, ia langsung diberi ucapan "Selamat ulang tahun!!" dan dilempari tepung dan telur.

"Terima kasih, teman-teman," kata Selvy sambil menghapus air mata harunya.

Prediksi Selvy yang kedua juga benar. Di mejanya sudah ada banyak sekali kado dari sahabat-sahabatnya.

"Duh, bagaimana, nih? Hadiahnya banyak sekali," kata Selvy bingung.

"Ini, ambillah," kata Angel sambil menyerahkan sebuah keresek besar.


"Terima kasih, Angel," kata Selvy.

Selvy memasukkan kado-kado dari sahabat-sahabatnya ke dalam keresek yang diberikan Angel.

Karena hari ini hari Sabtu, maka kegiatan kelas 6 hanya diisi dengan pesta ulang tahun Selvy. Di sekolah Selvy, hari Sabtu tidak ada pelajaran. Hari Sabtu hanya diisi dengan kegiatan lain.

Di rumah, Selvy membuka semua kado yang diberikan oleh teman-temannya. Dari seluruh hadiah yang ia terima, hadiah dari Angel-lah yang paling menarik perhatian Selvy.

Hadiah yang diberikan Angel bukan hadiah yang mahal atau langka. Angel hanya memberikan selusin buku bertuliskan "MIRACULOUS BOOK", yang artinya (dalam bahasa Indonesia) "BUKU AJAIB".

"'Miraculous Book'? 'Buku Ajaib'? Ahh, mana mungkin ini buku ajaib? Ini, kan, hanya buku tulis biasa!" kata Selvy pada dirinya sendiri.

Rasanya aneh, memang, kalau Selvy mempercayai bahwa buku pemberian Angel itu memang buku ajaib. Buku pemberian Angel hanyalah buku tulis yang tak kelihatan istimewa. Siapapun yang melihatnya pasti takkan percaya bahwa buku itu adalah buku ajaib.

Angel juga memberikan kertas yang sudah ditulisi ucapan selamat.

"Selamat ulang tahun! Semoga kamu menjadi jauh lebih baik, ya! Tingkatkan belajar juga, supaya kamu lulus ujian dengan nilai yang memuaskan. Kalau butuh teman, hubungi saja aku! Aku bersedia menemanimu, kapanpun kamu mau. Oya, buku yang aku berikan itu adalah buku yang benar-benar ajaib. Setiap kata yang kamu tulis di buku itu akan selalu melekat di memorimu. Dengan begitu, kamu selalu ingat isi buku tulis ajaib itu. Kakakku sudah pernah mencobanya. Karena memakai buku tulis ajaib itu, ia lulus dari SMP dengan nilai terbaik! Dia juga masuk ke SMA favorit yang selama ini ia impikan. Ayo, tunggu apa lagi! Besok, kan, sudah mulai pelajaran, jadi pakai buku tulis ajaib itu untuk pelajaran hafalan! Dijamin, kamu akan mendapat nilai yang jauh lebih baik dari kemarin!"

NB: Buku tulis ini tidak bisa menjadi ajaib kalau pemiliknya menggunakannya dengan bermalas-malasan. Buku tulis ini hanya bisa bekerja bila pemiliknya sering membuka dan membacanya. Jadi, kamu harus selalu membacanya bila besok terdapat pelajaran yang menggunakan buku tulis ajaib itu, oke?

From: Angelina, your BFF


"Apakah Angel benar? Mana mungkin semua tulisan yang ditulis disini akan selalu melekat di memori?" tanya Angel pada dirinya sendiri. "Angel tidak pernah bohong. Pasti buku ini benar-benar ajaib. Pasti!"

Akhirnya, Selvy mempercayai Angel. Ia menyalin tulisan dari buku tulis lamanya ke buku tulis ajaib barunya. Ia juga membacanya setiap malam, seperti yang diperintahkan oleh Angel.

Hasilnya sudah mulai terasa. Nilai-nilainya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Ia sering sekali mendapat nilai 100 di sekolahnya.

Sebentar lagi, ujian akan dimulai. Selvy semakin rajin membaca buku-buku pelajarannya, terutama pelajaran-pelajaran UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional), yaitu IPA, Bahasa Indonesia, dan Matematika.

Beberapa hari kemudian, UASBN telah selesai. US (Ujian Sekolah) telah menunggu. Semua siswa kelas 6 akan melaksanakan US dalam seminggu.

Akhirnya, US telah selesai. Tinggal menunggu hasil UASBN dan US.

Sekarang, kelas 6 terbebas dari pelajaran. Tinggal berlatih untuk acara perpisahan sekolah.

Hari yang ditunggu-tunggu pun datang juga. Hari ini akan diumumkan juara UASBN.

Bu Indri, kepala sekolah SDN HARAPAN, SD tempat Selvy bersekolah, memegang mike dan mulai berpidato.

"Selamat datang kepada siswa-siswi kelas 6! Saya, Ibu Indri, akan mengumumkan juara UASBN dan US. Apapun hasilnya, tolong diterima. Apa yang telah kalian lakukan dan perjuangkan sudah lebih dari cukup untuk sekolah kita tercinta." kata Bu Indri. "Kalian semua adalah murid yang cerdas. Bu Indri selalu berdoa untuk kalian, agar kalian semua dapat mencapai cita-cita setinggi langit,"

Bu Indri menarik nafas, kemudian berkata, "Saya akan langsung mengumumkan juara UASBN. Juaranya adalah.......... SELVY TIARA MAHAPUTRI!!!"

Selvy serasa sedang bermimpi. Ia tak percaya dirinya bisa menjadi juara UASBN dengan nilai sempurna, padahal sebelumnya ia tidak begitu berprestasi di sekolah. Tubuhnya gemetar saking kagetnya.

"Ayo, Selvy, maju ke depan! Kamu adalah juara UASBN tahun ini!" kata Bu Indri sambil memberi isyarat kepada Selvy untuk maju ke depan.

Dengan tubuh yang masih gemetar, Selvy maju ke depan.

"Inilah juara UASBN tahun ini, Selvy! Ia mendapat nilai UASBN tertinggi dengan NEM 30! Walaupun kalian tidak menjadi juara UASBN tahun ini, bukan berarti kalian tidak dapat menjadi seperti Selvy! Dengan belajar sungguh-sungguh, kalian bisa seperti Selvy!" kata Bu Indri. "Tepuk tangan yang meriah untuk Selvy!!"

Semua murid kelas 6 bertepuk tangan riuh untuk Selvy. Air mata haru membasahi mata dan pipi Selvy. Ia benar-benar tak menyangka semua ini akan terjadi.

Sebagai penghargaan, Selvy diberi piala duplikat yang bertuliskan:

SELVY TIARA MAHAPUTRI
JUARA UASBN SDN HARAPAN
TAHUN 2010

Saat Selvy hendak keluar dari sekolah, seseorang menepuk bahunya.

"Selamat, kawan. Kau berhasil mengalahkanku,"

Selvy berbalik ke belakang untuk melihat orang yang menepuk bahunya dan mengucapkan selamat.

"Angel?"

"Ya, aku Angel. Ternyata kau memang cerdas,"

Selvy tersenyum dan berkata, "Ini semua, kan, karena buku ajaib yang kau berikan,"

Angel tertawa ketika mendengar perkataan Selvy.

"Selvy, Selvy. Kamu percaya dengan perkataanku itu?"

"Iya, dong. Kamu, kan, sahabat terbaikku,"

"Selvy, bukan buku itu yang ajaib, tapi kamu! Kamu berhasil mengubah prestasimu yang tadinya biasa menjadi luar biasa!"

Selvy kaget. Apakah benar bahwa bukan buku itu yang membuatnya bisa mengingat semua materi pelajaran? Tidak mungkin!

"Kaget, ya? Sekarang kamu sudah tahu, kan, bahwa rasa semangat dan percaya diri dapat mengalahkan apapun?" kata Angel.

"Betul, Angel! Aku sadar bahwa dengan rasa semangat dan percaya diri, kita dapat meraih apapun yang kita mau," kata Selvy. "Ini, kan, juga berkat kamu, Angel. Kalau kamu tidak memberi aku buku tulis itu, aku tidak akan bisa percaya diri seperti sekarang!"

"Ah, kamu itu bisa saja, deh," kata Angel.

Ternyata, buku yang diberikan Angel bukan buku ajaib. Ialah yang membuat dirinya menjadi pintar, bukan buku tulis pemberian Angel.

Selvy membawa piala duplikat yang diberikan oleh sekolah dengan bangga. Rasa percaya dirinya meningkat. Sekarang, ia percaya bahwa, ternyata dirinya mampu untuk meraih prestasi seperti Angel dan yang lainnya. Kalau orang lain bisa, kenapa ia tidak?



Sabtu, 03 Juli 2010

This is Me!!

Seorang anak perempuan melintas di depan halaman sekolah SD CINTA ALAM. Anak itu bernama Reita. Ia mengenakan seragam putih dengan pita biru di kerahnya. Ia memakai berbagai aksesori di tangannya. Ia berjalan dengan anggun, mempesona semua orang yang melihatnya.

"Lihat, itu Reita, anak kelas 6!" teriak Mira, salah satu siswi SD CINTA ALAM yang sekelas dengan Reita.

"Reita? Ayo, kita sambut dia!" sambung anak-anak yang lain.

Saat Reita masuk ke kelas, ia langsung disambut oleh semua siswa kelas 6. Reita memang anak yang paling terkenal di sekolah. Semua siswa di sekolah mengenalnya, dari kelas 1 sampai kelas 6. Reita dikenal karena ia adalah siswi yang paling cantik dan feminin. Ia selalu berdandan dengan gaya yang sangat feminin. Jalannya pun sangat anggun.

Hampir semua siswi kelas 6 mengidolakan Reita. Mereka selalu mengikuti kemanapun Reita pergi. Mereka juga selalu ingin mengikuti gaya berpakaian Reita yang sangat feminin.

Walaupun begitu, tidak semua anak mengidolakan Reita. Ada satu anak yang sama sekali tidak mengidolakan dan meniru gaya Reita. Anak itu bernama Olive. Ia adalah anak yang sangat tomboy. Ia sering sekali bermain dengan laki-laki. Gaya berpakaiannya pun jauh berbeda dengan Reita. Bila Reita berpakaian feminin, Olive selalu berpakaian tomboy.

Walaupun begitu, kadang-kadang Olive merasa tidak nyaman dengan gayanya. Teman-temannya tidak begitu suka dengan gayanya yang super tomboy dan agak berantakan. Ia merasa dijauhi oleh teman-temannya. Lama-kelamaan, Olive sadar bahwa teman-temannya memang tak menyukainya.

Pada hari Minggu, ada sesuatu yang aneh pada penampilan Olive, dari kepala sampai kaki. Semua orang yang melihatnya merasa bingung, apa yang terjadi dengan Olive?

Maklum saja, penampilan Olive memang berubah 100%. Rambutnya tergerai, tidak diikat seperti biasanya. Ia memakai rok pendek dan baju T-shirt berwarna merah muda yang sangat feminin. Ia juga memakai 2 gelang yang terbuat dari mutiara. Padahal, sebelumnya Olive tak pernah mau memakai perhiasan apapun.

Orang-orang yang melihatnya langsung mendekati Olive dan menanyakan berbagai pertanyaan.

"Olive, kok, kamu terlihat feminin sekali?" tanya Ray, sahabat sekelas Olive yang juga menjadi tetangga Olive.

"Oh, aku hanya ingin terlihat lebih feminin saja, kok," jawab Olive singkat. Ia tak mau ada orang yang mengetahui sebab ia tampil feminin.

"Masak, sih? Memangnya kenapa kamu ingin terlihat lebih feminin?"

"Ah, kamu ini bagaimana, sih, Ray. Aku ini, kan, perempuan! Apa, sih, salahnya kalau aku ingin tampil berbeda?" kata Olive kesal. Ia takut Ray curiga dengannya.

"Iya, maaf, deh. Eh, nanti kamu mau ikut bermain sepak bola, tidak? Banyak teman yang ikut, lho," ajak Ray.

"Tidak usah, Ray, aku ingin menjadi perempuan yang feminin, seperti yang kukatakan tadi. Aku tidak mau lagi bermain apapun bersama laki-laki. Aku juga tidak mau jalan-jalan dengan laki-laki, termasuk kamu, Ray," kata Olive tegas. "Tolong jangan salah sangka, Ray. Aku hanya ingin menjadi perempuan yang feminin, itu saja. Aku masih ingin bersahabat dengan semua teman laki-laki, termasuk kamu. Tapi tolong mengerti keinginanku sekarang, Ray. Maafkan aku jika perkataanku menyakiti hatimu, tapi aku terpaksa melakukan ini, demi mencapai apa yang kuinginkan,"

"Jadi kamu ingin memutuskan tali persahabatan kita hanya karena ingin menjadi anak yang feminin, begitu?" tanya Ray kesal.

"Aku tidak ingin memutuskan tali persahabatan kita, Ray! Aku tak bermaksud begitu! Lagipula aku berhak untuk memilih jalanku sendiri!" kata Olive.

"Oh, begitu, ya. Oke, tidak apa-apa jika kamu memang lebih memilih berjuang menjadi anak feminin daripada persahabatan. Pergilah bersama anak-anak perempuan lainnya saja. Mereka pasti akan menyambutmu dan menawarkan untuk masuk ke kelompok mereka,"

Olive terdiam. Ia segera berlari ke rumahnya dan masuk ke kamarnya.

Apa yang dikatakan Ray memang benar. Aku lebih memilih memutuskan persahabatan, hanya untuk menjadi anak yang feminin. Aku terlalu memikirkan ejekan teman-teman perempuan. Aku lemah, aku mudah sekali terpengaruh oleh kata-kata mereka, teman-teman perempuan! Aku telah mempercayai perkataan buruk mereka. Akhirnya, aku jadi mengkhianati sahabat-sahabatku yang setia padaku! Kata Olive dalam hati.

Keesokan harinya di sekolah, Olive berusaha mendekati Ray dan meminta maaf.

"Ray, bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" kata Olive pelan.

"Hmm, bicara apa?"

"Nanti akan kujelaskan," kata Olive sambil menarik baju seragam Ray, mengajaknya menjauh dari kantin.

"Maafkan aku, Ray. Aku tidak bermaksud untuk memutuskan tali persahabatan kita. Aku berjanji untuk tidak berusaha menjauh lagi darimu dan teman laki-laki lainnya,"

"Oke, tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, mengapa kamu ingin sekali tampil feminin? Janji, deh, takkan kuberitahu siapapun,"

"Begini, Ray. Sebenarnya, aku tidak mau memberitahunya, tetapi karena kamu adalah sahabatku, aku akan menceritakan yang sebenarnya," kata Olive pelan. "Teman-teman perempuan mengejekku, mereka bilang gaya hidupku itu aneh, karena tidak feminin seperti mereka. Mereka bilang, aku harus mengikuti gaya Reita jika ingin bersahabat dengan mereka. Hal itu membuat percaya diriku turun. Aku berusaha mengubah gaya, walaupun sebenarnya aku merasa risih dengan baju feminin yang kupakai kemarin. Untung kamu menyadarkanku, jadi rasa percaya diriku kembali, deh, terima kasih, ya. Aku hanya akan mengubah sedikit penampilanku menjadi lebih rapi,"

"Iya, sama-sama. Aku juga senang kamu kembali percaya diri dengan penampilanmu yang dulu. Sahabat, kan, harus saling menolong," kata Ray sambil tersenyum senang. "Kata-kata buruk temanmu itu jangan didengarkan, mereka hanya ingin menjatuhkan kepercayaan dirimu. Walaupun kamu anak yang tomboy, kamu, kan, anak yang baik, pasti akan lebih banyak orang yang menyukaimu,"

"Terima kasih, Ray, kamu memang sahabatku yang paling baik,"

Akhirnya, Olive kembali bersahabat dengan teman-temannya yang setia dengannya.

Selasa, 22 Juni 2010

Lihatlah Kebawah Kita

Di sebuah rumah yang besar dan megah, tinggallah seorang anak yang bernama Raida. Ia adalah anak kelas 6 Sekolah Dasar. Di sekolah, ia adalah anak yang paling kaya. Setiap pulang pergi ke sekolah, ia selalu menaiki mobil milik ayahnya.

Sayangnya, Raida tidak bisa memakai kekayaan yang ia miliki dengan baik. Ia tidak pernah memakai uang jajannya untuk bersedekah sepeserpun. Dalam sehari, ia dapat menghabiskan uang jajannya sampai habis, padahal dalam sehari ia diberi uang jajan hingga Rp 10.000,00 keatas.

Selain boros dan pelit, Raida juga sering mengeluh jika keinginannya tidak bisa dituruti. Misalnya, ketika ia menginginkan baju baru untuk perpisahan sekolahnya. Saat itu, orang tuanya sedang menabung, karena sebelumnya Raida juga meminta tas dan sepatu baru.

"Mama, bolehkah aku meminta 3 baju baru untuk pesta perpisahan? Pesta perpisahan, kan, diadakannya 3 hari,"

"Memangnya harus pakai baju baru? Pakai baju lama, kan, juga bisa, Raida sayang. Baju-baju lama milikmu, kan, masih bagus. Mama, kan, sedang menabung untuk membeli tas dan sepatu baru yang kamu minta kemarin,"

"Iya, tapi aku juga butuh baju baru! Apa kata teman-teman kalau aku tidak memakai baju baru? Aku pasti akan kelihatan kuno dan biasa saja! Aku tidak mau teman-teman memandangku begitu! Semua teman harus memperhatikan aku, supaya aku tetap terkenal di sekolah sebagai anak paling kaya!"

"Sayang, teman-teman memandangmu paling kaya atau tidak, bukanlah sebuah masalah. Seseorang dipandang bukan dari kekayaannya, tetapi dari hatinya. Kalau kamu bersikap baik dengan semua orang, pasti kamu akan memiliki banyak teman yang setia,"

"Kalau itu aku tidak peduli! Pokoknya aku butuh baju baru, harus 3! Dan baju baru itu harus aku dapatkan sebelum hari pesta perpisahan!"

Setelah itu, Raida masuk ke kamarnya dan membanting pintunya.

"Raida! Tunggu! Dengarkan penjelasan Mama dulu! Mama melakukan ini karena Mama terpaksa!" kata Mama

Raida sama sekali tidak memedulikan kata-kata ibunya. Ia tetap di kamarnya, menggerutu karena keinginannya tidak dituruti.

Mama pun berusaha membujuk Raida keluar dengan mengatakan, "Raida, besok kita jalan-jalan, ya! Mama janji, mama akan mengajak kamu jalan-jalan dengan mobil mama!"

Raida yang mendengarnya bersorak girang dan keluar dari kamarnya.

"Benar, Ma? Yeee...... akhirnya!!!"

"Iya, besok, kan, hari Minggu. Kita bisa jalan-jalan sepuasnya,"

Keesokan harinya, Raida bersama orang tuanya pergi keluar dengan mobil Mama.

Setelah sampai di tempat tujuan, Raida berkata, "Ma, kok berhenti? Bukannya kita akan jalan-jalan ke mall?"

"Eh, siapa bilang kita mau jalan-jalan ke mall? Mama, kan, tidak bilang begitu! Ayo, kita memang akan jalan-jalan ke panti asuhan, bukan ke mall!"

Raida yang mendengarnya benar-benar merasa kesal.

Mama ini aneh, deh! Jalan-jalan, kan, harusnya ke mall atau tempat elit lainnya, bukan ke panti asuhan jelek seperti ini! Kalau begini, sih, aku lebih baik pulang saja! Kata Raida dalam hati.

Di panti asuhan, Raida selalu memasang wajah cemberut. Semangatnya untuk jalan-jalan memudar. Ia hanya melihat anak-anak panti asuhan yang asyik bermain.

"Lihatlah mereka, Raida! Mereka bermain dengan asyiknya! Ayo, berkumpullah dengan mereka! Lumayan, kan, kalau dapat teman baru?" ajak Mama sambil menunjuk anak-anak panti asuhan.

"Ih, Mama ini bagaimana, sih? Mereka, kan, tidak selevel dengan Raida! Pokoknya Raida tidak mau bermain dengan mereka!"

Mama terus membujuk Raida untuk bermain dengan anak-anak panti asuhan, hingga Raida pun mau bermain dengan mereka, walaupun dengan terpaksa.

Saat Raida berkumpul dengan anak-anak panti asuhan, ia disambut dengan ramah oleh semua anak-anak itu.

"Halo, Kak! Siapa namanya?" tanya salah satu anak panti asuhan yang berusia kira-kira 8 tahun.

"Raida," jawab Raida singkat. "Kalau kamu?"

"Namaku Icha," jawab anak yang bernama Icha itu. "Kakak disini bersama orang tuanya, ya?"

"Iya, memang kenapa?"

"Tidak, hanya bertanya saja," kata Icha. "Dulu, aku juga tinggal bersama ibu dan ayahku, tetapi ibu dan ayahku meninggal karena kecelakaan,"

"Apa kamu pernah merasa sedih sejak kejadian itu?"

"Tentunya, apalagi kalau teringat kejadian itu. Rasanya aku ingin sekali bertemu kembali dengan orang tuaku. Kalau saja aku dapat membalik waktu kembali sebelum kejadian itu, pasti akan kugunakan waktu yang ada sebaik-baiknya. Kalau saat itu aku bisa mencegah kecelakaannya, pasti akan kucegah. Namun aku hanya anak kecil yang tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun begitu, teman-temanku, guru-guruku, dan pengasuh-pengasuhku selalu menyemangatiku untuk terus hidup dan berjuang, karena jalanku masih panjang. Bagiku, kehilangan orang tua bukan masalah. Aku, kan, tetap bisa bersekolah dan merajut mimpi, kan? Aku juga masih memiliki banyak sekali orang yang sayang dan peduli padaku, walaupun kehidupanku pas-pasan," kata Icha, menceritakan hidupnya.

Raida merasa tersentuh hatinya. Ia tak menyangka, anak kecil berusia 8 tahun yang seharusnya banyak menerima kasih sayang dari orang tuanya dapat setegar itu. Walaupun tidak memiliki orang tua, ternyata Icha masih bisa bertahan. Tidak seperti dirinya yang mudah mengeluh jika tertimpa suatu masalah.

Sebelum pergi, Raida mengatakan, "teman-teman baruku, terima kasih atas pelajaran yang kalian berikan padaku. Aku berjanji takkan melupakan kalian selamanya!"

"Iya, terima kasih, Kak Raida! Kapan-kapan datang lagi, ya, Kak! Dadah!" kata semua anak panti asuhan.

"Tenang, pasti Kak Raida akan datang lagi kesini! Dadah juga!!" kata Raida sambil pergi dan melambaikan tangannya.

Di mobil, Raida berkata, "Mama dan Papa, maafkan jika selama ini aku sudah sering merepotkan Mama dan Papa. Aku mendapat pelajaran berharga selama di panti asuhan tadi. Kalau saja Mama tidak mengajak Raida ke panti asuhan, pasti Raida akan tetap jadi anak yang sombong dan manja. Raida berjanji akan menjadi anak yang baik,"

"Ya, sayang. Mama dan Papa pasti akan senang jika Raida mau berubah menjadi lebih baik," kata Mama.

Dalam hatinya, Raida berjanji akan menjadi anak yang rendah hati dan menggunakan kekayaannya untuk hal-hal bermanfaat.

Pelajaran Berharga dari Panti Asuhan

Namaku adalah Aisha. Hari ini, aku dan teman-teman satu sekolahku akan pergi ke sebuah panti asuhan. Kegiatan ini diadakan sekolah setahun sekali. Murid-murid disuruh menyumbangkan beras 1 kg dan beberapa alat mandi. Aku selalu senang jika kegiatan ini diadakan, karena aku sangat peduli kepada anak-anak yang berada di panti asuhan tersebut. Walaupun aku tidak mengalami apa yang mereka alami, tetapi aku bisa merasakan, bagaimana rasanya ditinggal oleh kedua orang tua tercinta. Aku selalu ingin mengulurkan tangan untuk membantu mereka.

Setelah sampai di sana, aku pun duduk bersama teman-teman lainnya. Anak-anak panti asuhan telah menunggu kami semua. Aku tertegun melihat keadaan panti asuhan yang begitu sederhana, beda dengan rumahku yang jauh lebih baik. Aku juga merasa kasihan melihat wajah-wajah polos anak-anak panti asuhan. Kelihatannya, beberapa dari mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku bahkan hampir menangis melihat keadaan panti asuhan ini.

Lamunanku terpecah oleh suara salah satu pengurus panti asuhan, Pak Rachmat. Beliau membuka kegiatan ini dengan salam. Beliau menjelaskan tujuan diadakannya kegiatan ini, dan beliau pun mulai menceritakan tentang panti asuhan yang beliau urus. Saat itu juga air mataku hampir tumpah. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Aku hanya merenungkan tentang anak-anak panti asuhan ini. Mereka pasti hidup dengan penuh kesederhanaan. Mereka pasti sering teringat dengan kedua orang tua mereka. Aku pun terpacu untuk menjadi orang sabar seperti mereka. Aku ingin belajar untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan secara terus-menerus. Aku tidak akan membiarkan orang tuaku hidup sengsara. Aku akan membuat mereka bahagia! Aku tidak akan menyia-nyiakan mereka selama mereka masih hidup!

Setelah kegiatan selesai, aku dan teman-teman sekolahku pun kembali ke sekolah dan langsung pulang setelah berdoa. Setelah pulang, ayah dan ibuku menanyakan, apa saja yang kulakukan di panti asuhan, dan aku pun menjawabnya dengan menceritakan apa saja yang dilakukan di panti asuhan. Aku juga bercerita bahwa aku mendapat pelajaran berharga saat disana.

Pertama, kita tidak boleh terus berlarut-larut dalam kesedihan. Kedua, kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita punya. Ketiga, kita tidak boleh menyia-nyiakan orang tua kita selama mereka masih hidup. Hal itu aku katakan kepada kedua orang tuaku, kemudian aku pun memeluk mereka sambil berjanji bahwa aku tidak akan menyia-nyiakan mereka. Ayah dan ibuku pun menciumku dan berkata bahwa aku adalah harta mereka yang paling mereka sayangi dan paling mereka jaga. Aku senang sekali mendengar ucapan itu.

Aku berjanji akan menjadi lebih baik kepada orang tuaku setelah aku mendapat pelajaran berharga dari panti asuhan ini.

Minggu, 20 Juni 2010

My True Ability!

Renny adalah seorang anak perempuan yang mengikuti club tari di sanggar tari "GEMULAI" di dekat rumahnya. Sanggar tari itu ia ikuti sejak kelas 4 Sekolah Dasar. Ibunyalah yang mendaftarkan dan mengusulkan Renny mengikuti club tari di sanggar tari tersebut.

Walaupun telah mengikuti pelatihan tari selama 3 bulan, tetapi Renny tidak begitu menunjukkan kemahiran dalam menari. Hal ini terjadi bukan karena Renny. Ia sering berlatih menari di rumahnya. Bila ada waktu luang, ia selalu memakainya untuk latihan menari. Bahkan, ia memiliki 5 CD tari seperti yang ada di sanggar tari "GEMULAI", sanggar tempat ia mengikuti club tari.

Satu-satunya masalah yang membuatnya tidak bisa menari semahir teman-temannya yang lain adalah ia tidak memiliki tubuh yang lemah gemulai seperti teman-temannya. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dengan lemah gemulai seperti teman-temannya, sehingga tarian yang ia bawakan tidak sebagus teman-teman lainnya yang mengikuti club tari di sanggar tari itu.

Sebentar lagi, sanggar tari "GEMULAI" akan mengadakan pentas tari di halaman sanggar. Para anggota club akan membawakan tari modern yang gerakannya diciptakan oleh Bu Izza, pengajar mereka. Tarian itu sangatlah sulit untuk Renny, karena ada gerakan yang harus menggoyangkan pinggul. Renny tak dapat melakukan gerakan itu, sedangkan teman-temannya yang lain dapat melakukannya dengan mudah tanpa hambatan sedikitpun.

Di rumah, Renny berlatih dengan keras. Ia berusaha menguasai tarian itu semaksimal mungkin.

Tibalah hari itu, hari pementasan club tari "GEMULAI". Renny berusaha percaya diri, walaupun ia belum berhasil menguasai tari ciptaan Bu Izza sepenuhnya.

Pentas tari berlangsung selama 1 menit. Para penonton bertepuk tangan riuh. Renny merasa senang bisa membawakan tari ciptaan Bu Izza dengan baik, walaupun tidak lemah gemulai seperti yang lainnya.

Di belakang panggung, teman-teman se-club Renny menertawakan dan memprotes gerakan Renny saat menari.

"Hey, gerakanmu di panggung itu kaku sekali! Harusnya kamu bisa menguasai gerakan-gerakan di tarian itu! Kalau tidak bisa, lebih baik kamu keluar saja dari sanggar tari ini! Kamu hanya bisa membuat kami semua malu!" kata Lisa, salah satu anggota club tari "GEMULAI".

"Betul kata Lisa, Renny! Kamu itu bagaikan sampah yang merusak nama baik club tari kami! Kamu itu tak berguna sama sekali bagi kami! Keluar saja dari club kami! Lebih baik cari saja sanggar tari yang mau menerima tubuh kakumu itu, tapi jangan salahkan kami jika tidak ada sanggar yang mau menerimamu. Tubuhmu, kan, kaku! Sudah, terima saja takdirmu itu!" sambung Mia, teman terbaik Lisa yang memiliki sifat sama seperti Lisa, yaitu sombong dan suka merendahkan orang lain.

Mendengar protes Lisa dan Mia, Renny mengatakan, "Maaf teman-teman jika selama ini aku tak bisa membawakan tari sebagus yang kalian harapkan, tetapi aku telah berusaha semaksimal mungkin, dan aku akan terus berusaha untuk bisa membawakan tari seperti yang kalian inginkan,"

"Ah, tidak usah banyak bermimpi, Renny! Seharusnya kamu sudah keluar dari sanggar ini sejak dulu! Sana, pergi sajalah!" kilah Lisa kasar.

Bu Izza segera masuk ke belakang panggung untuk melerai pertengkaran Renny dengan Lisa dan Mia.

"Eh, di belakang panggung, kok, bertengkar? Ada masalah apa, kok bertengkar?" tanya Bu Izza.

"Coba Bu Izza ingat-ingat saat kita tampil! Betapa jeleknya gerakan Renny! Dia kaku sekali, kan? Lebih baik kita keluarkan saja Renny dari sanggar tari kita!" jawab Lisa kasar.

"Lisa, kamu tidak boleh memaksa Renny seperti itu! Dia punya hak untuk masuk ke sanggar kita, karena dia tidak pernah sekalipun membuat masalah di sanggar kita!" kilah Bu Izza.

"Tidak pernah bagaimana? Setiap menari, gerakannya tak pernah bagus! Tubuhnya, kan, kaku! Harusnya dia menerima nasibnya saja! Dia, kan, tidak punya bakat apa-apa!"

"Lisa, jangan menjadi sombong karena kamu sudah lebih lama dan lebih pintar menari daripada dia! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha! Kamu juga tidak bisa seenaknya mengatur-ngatur Renny untuk mematuhi semua yang kamu inginkan!" kata Bu Izza tegas.

Lisa yang mendengar ucapan Bu Izza langsung terdiam.

"Renny, ucapan buruk teman-temanmu jangan dimasukkan ke hati, ya. Tarian yang kamu bawakan di panggung tadi sangat bagus. Ibu tahu, kamu sudah belajar keras, kan, di rumah? Ucapan buruk Lisa dan yang lainnya itu hanya ingin membuatmu rendah diri, jadi jangan terpengaruh, ya. Kamu bisa, kok, meraih apa saja yang kamu inginkan. Ucapan Lisa bahwa kamu tidak memiliki bakat apapun itu salah. Ayo, tunjukkan saja apapun bakatmu," hibur Bu Izza.

"Iya, terima kasih, Bu Izza. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik untuk Bu Izza," kata Renny senang.

"Ayo, semuanya pulang! Hati-hati di jalan!" kata Bu Izza.

Sebelum keluar, Lisa berkata kepada Renny, "Kali ini kamu diselamatkan oleh Bu Izza, tapi tunggu lain kali! Aku pasti akan menyingkirkanmu dari kelompok kami!"

Renny hanya menunjukkan wajah cuek dan berbalik meninggalkan Lisa.

Di rumah, Renny memikirkan kata-kata Bu Izza. Ia pun sadar bahwa ia memiliki bakat yang tidak dimiliki oleh Lisa dan Mia.

Renny membuka pintu kamarnya dan membuka komputernya. Ia memiliki sebuah rencana untuk membuktikan bahwa ia memiliki bakat yang tidak dimiliki semua orang. Ya, ia akan membuat sebuah novel.

Renny menamakan novelnya dengan judul "Gelombang Kehidupan". Novel itu bercerita mengenai kehidupan seorang anak kecil yang ingin meraih sebuah cita-cita, tetapi ia mengalami banyak rintangan dan hinaan. Novel ini banyak menceritakan mengenai kehidupan Renny. Di novel itu, Renny mencurahkan semua isi hatinya.

Novel Renny selesai dalam sebulan. Novel Renny pun diterbitkan.

Beberapa bulan kemudian, novel Renny menjadi buku best seller. Bukunya juga menjadi inspirasi banyak orang untuk meraih cita-cita mereka.

Saat Renny berangkat ke sanggar tari "GEMULAI", ia disambut hangat oleh semua teman-temannya.

"Selamat, Renny! Ternyata, kamu itu pintar sekali mengarang, ya," puji Mia. "Maafkan aku, aku sudah sering sekali menyakitimu. Aku salah, ternyata kamu memiliki bakat hebat,"

"Aku juga minta maaf, Ren. Selama ini, aku selalu berusaha menyakiti dan mengucilkanmu dari club kami. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf. Aku berjanji tidak akan mengucilkanmu lagi. Rencananya, sih, aku dan teman-teman akan pergi ke toko buku untuk membeli bukumu," sambung Lisa.

"Terima kasih, semuanya! Aku tidak akan pernah melupakan semua jasa kalian untukku. Terima kasih juga karena kalian mau membeli bukuku, ya," kata Renny senang.

Akhirnya, semua anggota club "GEMULAI" mau mengakui Renny sebagai teman mereka. Lisa dan Mia juga mau menerima Renny menjadi sahabat dan mengakhiri permusuhan antara mereka.

Sabtu, 22 Mei 2010

Kejutan untuk Vera

Vera memiliki seorang sahabat, namanya adalah Tania. Mereka bersahabat sejak pertama kali bertemu, yaitu saat kelas 1 Sekolah Dasar. Tania adalah orang yang baik, dermawan, dan supel bergaul. Itulah yang membuat Vera sangat menyayangi Tania.

Vera dan Tania sudah seperti kakak dan adik. Tania sering sekali pergi ke rumah Vera. Begitu pula Vera. Ia sering datang ke rumah Tania. Mereka juga sering mengerjakan tugas sekolah bersama.

Saking eratnya persahabatan mereka, Vera dan Tania berjanji untuk bersekolah di sekolah yang sama bila mereka lulus Sekolah Dasar.

Walaupun mereka adalah 2 sahabat yang tak dapat dipisahkan, namun tidak selamanya mereka selalu rukun. Baru-baru ini, Tania bersikap aneh. Ia tidak lagi sering mengajak Vera pergi ke rumahnya atau ke kantin seperti biasanya.

Apa salahku? Mengapa dia menjauhiku? Dan mengapa dia melakukan ini secara mendadak?
Pikir Vera.

Sebelum pulang, Vera bertanya kepada Tania, "Tan, mengapa kamu menjauhi aku? Apa aku bersalah? Atau kamu hanya sibuk saja?"

Mendengar pertanyaan Vera, Tania menjawab, "Apa benar aku menjauhimu? Sepertinya hubungan kita masih seperti biasa, deh,". Setelah itu, ia langsung pergi meninggalkan Vera

Vera merasa bingung mendengar jawaban Tania. "Apa Tania marah padaku, sehingga ia tak mau banyak bicara denganku?" tanya Vera kepada Tania. Tania mendengarnya, namun ia tak menjawab sama sekali.

Aneh, tidak biasanya Tania lari ketika terjadi masalah antara aku dan dia, pikir Vera.

Keesokan harinya pun sama. Tania selalu berusaha menjauh dari Vera. Tania tak mau bicara sepatah katapun dengan Vera. Bahkan, Tania menolak ketika Vera mengajaknya ke rumah Vera.

"Tan, kalau kamu tidak ada kegiatan, kamu ke rumahku, ya! Apa kamu mau?" tawar Vera.

"Tidak, Vera. Aku tidak bisa datang ke rumahmu. Aku tidak ada kegiatan, tetapi aku sangat lelah, jadi jangan ganggu aku ketika aku pulang sekolah. Aku juga tak mau lagi bersahabat denganmu. Jangan datang ke rumahku juga, ingat!" tolak Tania dingin.

Vera yang mendengar jawaban Tania merasa terluka hatinya. Apa maksud Tania mengatakan itu padanya?

Vera langsung pergi dari hadapan Tania. Ia tak mau lagi mengejar-ngejar Tania seperti kemarin. Vera akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Tania kepadanya, yaitu menjauhi. Ia ingin melihat, apa yang akan Tania lakukan bila Vera menjauh dari Tania?

Keesokan harinya, Tania melakukan hal yang sama, tetapi lama kelamaan ia merasa kesepian. Ia merasa sepi, karena Vera menjauhinya.

Walaupun Vera telah menjauhinya, Tania tetap berusaha menjauhi Vera, walaupun ia sebenarnya sangat rindu ingin bergaul kembali dengan Vera.

2 hari setelahnya, Tania mencoba mendekati Vera. Ia berkata, "Ver, ini ada undangan dari Mia. Adik sepupunya berulang tahun yang ke 5," kata Tania sambil menyodorkan undangan ulang tahun Edy, adik sepupu Mia, temannya yang berulang tahun.

"Akhirnya kamu mau bicara denganku juga, Tan. Mengapa kamu tidak mau bicara denganku?" tanya Vera.

"Ah, itu akan kita urus nanti, tidak sekarang." jawab Tania singkat.

Vera membaca undangan adik sepupu Mia. Ia tidak melihat foto Edy di undangan itu.

"Aneh, kok tidak ada foto Edy, ya?" tanya Vera pada dirinya sendiri. "Ah, yang penting aku datang. Mia pasti akan sangat mengharapkan kedatanganku,"

Sepulang sekolah, Vera cepat-cepat mandi dan mengganti baju seragam dengan baju pesta. Ia segera pergi ke rumah Mia untuk datang ke pesta ulang tahun Edy.

Di depan panggung, MC pesta membuka acara ulang tahun.

"Halo adik-adik! Terimakasih telah datang ke pesta ulang tahun ini. Adik-adik sudah siap, kan, untuk bersenang-senang di acara ini? Nah, sebelum kita memulai permainan, mari kita beri tepuk tangan untuk adik Mia yang akan membuka permainan kita!! "

Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Mia ke panggung.

"Teman-teman, terima kasih telah datang ke pesta ini. Kita akan melakukan berbagai permainan yang seru! Yang menang akan mendapat hadiah, jadi bermain dengan semangat, ya! Semua anak juga akan diberi suvenir dan makanan. Sebelum permainannya dimulai, aku ingin mengatakan, bahwa sebenarnya yang membuat pesta ini bukan aku, tetapi kak Tania! Beri tepuk tangan meriah untuk mengiringi langkah Tania!"

Semua orang yang mendengarnya bingung. Bukannya ini pesta Edy, adik sepupu Mia? Mereka memberi tepuk tangan, tetapi tidak semeriah ketika Mia naik ke panggung.

"Teman-teman, sebenarnya ini bukanlah pesta Edy," kata Tania. "Pesta ini kupersembahkan untuk........ Navera Putri!!"

Vera yang mendengarnya terkejut. Pesta ini untuknya? Tidak mungkin! Ternyata, inilah alasannya di undangan pesta ini tidak terdapat foto Edy.

"Ayo Vera, maju ke depan!! Pesta ini khusus untukmu!! Hari ini hari ulang tahunmu, kan?" kata Tania sambil tersenyum.

Vera maju ke depan dengan tubuh yang gemetar saking kagetnya.

Di panggung, Vera mengatakan, "Terima kasih sebesar-besarnya untuk semua yang telah datang dan berpartisipasi di pesta ini, aku tidak menyangka akan mendapat kejutan yang seperti ini,"

Pesta berlangsung selama 90 menit. Sebelum pulang, Vera berkata kepada Tania, "Tan, apa ini alasannya, mengapa kamu menjauhiku beberapa hari ini?"

"Betul! Kok kamu bisa tahu, sih? Hebat, deh!"

"Iya, tapi jangan begitu, dong. Aku, kan, jadi bingung, kok Tania yang baik jadi begitu?"

"Ya, maaf, deh. Aku janji tidak akan melakukannya lagi....."

Kedua sahabat itu pun bersatu lagi untuk selamanya

Sabtu, 01 Mei 2010

Bertemu Saudara Baru

Pak Amir memiliki sebuah kebun sekaligus toko tanaman dekat rumahnya. Banyak orang yang menyukai kebun sekaligus toko tanaman Pak Amir. Bahkan, banyak orang dari luar negeri yang sering datang ke toko tanaman Pak Amir bila mereka datang ke Indonesia.

Semua jenis tanaman ada di toko tanaman Pak Amir. Semuanya masih segar dan sehat. Pak Amir juga jujur dalam mengadakan jual beli dengan pembelinya, maka tak heran jika semua orang suka membeli tanaman di toko Pak Amir. Biarpun telah sukses, namun Pak Amir tetap rendah hati dan dermawan. Hasil penjualannya sering disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Pak Amir memiliki seorang anak yang diberi nama Echa. Echa anak yang baik, jujur, manis, dan berbakti kepada orang tuanya. Echa juga anak yang cerdas, dia pandai menolong ayahnya mengurusi toko, dan sering meraih peringkat pertama di kelasnya.

Sebentar lagi Echa akan menghadapi UASBN di sekolahnya. Dia semakin giat belajar, namun juga tak melupakan tugasnya untuk membantu ayahnya mengurusi toko.

Suatu pagi ketika Echa sedang membantu Pak Amir menata tumbuhan, Pak Amir menanyakan sesuatu pada Echa.

"Echa, kamu, kan sebentar lagi akan menghadapi UASBN, kamu harus memperbanyak belajar saja, biar ayah urusi sendiri tanaman-tanaman ini,"

"Tidak, Ayah. Aku sangat senang menolong Ayah mengurusi tanaman ini, karena aku anak ayah," jelas Echa.

"Ayah tahu, tetapi sebentar lagi UASBN akan kamu hadapi. Kamu harus memperbanyak belajar jika kamu ingin lulus. Lagipula, Ayah, kan bisa meminta tolong orang lain untuk menolong Ayah jika Ayah butuh bantuan, jadi tidak usah bingung, Echa sayang....."

"Baiklah jika Ayah memang ingin begitu, tapi jika Ayah butuh bantuan, Ayah harus bilang, ya,"

Echa pun pergi meninggalkan ayahnya, dan mulai membolak-balik buku pelajarannya. Ia berusaha fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya tetap tertuju pada ayahnya. Wajar saja, sejak ibunya pergi, Echa hanya hidup bersama ayahnya di sebuah rumah sederhana. Mereka hidup dari penghasilan toko tanaman mereka. Sejak ibunya pergi, Echa berjanji akan selalu membuat ayahnya bahagia, dan janjinya masih dijalankan sampai sekarang. Buktinya, Echa masih saja memikirkan ayahnya yang sedang bekerja.

Echa berusaha fokus pada pelajaran, dan akhirnya ia berhasil fokus pada pelajaran. Tahukah kamu apa yang membuat Echa bisa fokus? Karena ia terus memikirkan perintah ayahnya untuk rajin belajar! Dalam hatinya, Echa terus berjanji untuk memenuhi perintah beliau, yaitu menjadi orang yang sukses dan rajin, sehingga dapat hidup bahagia.

Tak terasa, sekarang sudah malam. Echa sudah menyelesaikan belajarnya. Ia pun keluar dari rumah dan mencari ayahnya. Pak Amir masih merapikan toko.

"Ayah pulang saja, biar aku yang mengurusi ini,"

Perkataan Echa membuat Pak Amir kaget dan hampir menjatuhkan tanaman yang sedang dipegangnya.

"Duh, Echa. Membuat Ayah kaget saja, tiba-tiba ada disini,"

"Maaf, Yah! Biar Echa yang merapikan semuanya, Ayah pasti lelah, kan?"

"Tidak, terima kasih, Echa. Ayah bisa merapikannya sendiri, kok, kalau mau bantu Ayah membawa tanaman Gelombang Cinta ke ujung sana,"

"Oke, Ayah! Akan aku bawakan untuk Ayah tercinta!"

Echa pun membantu ayahnya membawa tanaman Gelombang Cinta ke ujung, seperti yang ditawarkan ayahnya. Gelombang Cinta itu sekarang berjejer bersama tanaman-tanaman lain yang belum terjual.

"Ayo pulang, Echa! Oya, kamu sudah belajar, kan?"

"Sudah, pastinya! Aku selalu ingat nasehat Ayah untuk rajin belajar, itulah yang membuatku selalu rajin belajar,"

"Ah, Echa. Kamu ini bisa saja. Ayo masuk ke rumah."

Pak Amir dan Echa masuk ke rumah. Pak Amir duduk di kursi meja makan sambil termenung.

"Ayah, mengapa merenung?" tanya Echa.

"Tidak, Ayah hanya ingat Ibu. Dulu, kan, Ibu sering membantu Ayah jika Ayah sedang di toko,"
jawab Ayah lemas.

Tak jarang Pak Amir mengatakan itu sehabis pulang dari toko. Maklum, sejak Ibu pergi karena gagal ginjal, Pak Amir selalu merasa kesepian. Sekarang satu-satunya hiburan Pak Amir adalah Echa. Echa menyadari hal itu, makanya ia selalu berusaha menyenangkan hati Pak Amir, ayahnya yang sangat dicintainya.

"Ayah, jangan sedih, ya. Masih ada Echa yang setia menemani Ayah, kok." hibur Echa sambil tersenyum.

Echa memeluk Ayah sambil sedikit terisak. Ayah pun melakukan hal yang sama dengan Echa. Setelah membersihkan tangan dan kaki, Echa dan ayahnya tidur dengan pulas.

Keesokan harinya, Echa dan ayahnya pergi berjalan-jalan bersama ayahnya di sebuah taman yang dulu sering mereka kunjungi bersama Ibu. Echa memandangi bunga-bunga di taman itu sambil tersenyum.

"Senangnya datang ke taman ini lagi," kata Echa pada Ayah. "Ayah, kita sudah lama sekali, kan, tidak datang ke taman ini,"

Ayah sama sekali tidak merespon perkataan Echa. Ayah sama sekali tidak bergerak di kursi yang didudukinya. Kursi yang dulu sering diduduki Pak Amir bersama Ibu.

"Ayah? Mengapa Ayah diam saja? Bukannya disini menyenangkan?" tanya Echa bingung.

Ayah tetap diam saja. Echa yang bingung pun akhirnya memilih pergi dan berkeliling taman lagi. Ia melihat seorang wanita sedang berjalan santai. Rambutnya panjang hitam tergerai, matanya coklat kehitaman, memakai baju kuning cerah dengan renda di ujung lengannya, dan juga memakai rok panjang yang juga berwarna kuning cerah. Wanita itu persis seperti Ibu ketika terakhir kali bertemu Echa. Echa berlari menghampiri wanita itu, ia penasaran, siapakah wanita itu. Apakah itu Ibu? Ah, tidak mungkin! Ibu, kan, sudah meninggal! Namun apa salahnya mencoba menghampiri wanita itu?

"Permisi, maaf, kalau boleh tahu, siapa nama ibu?"

"Nama saya Indah, dan kamu Echa, kan?"

Indah? Bukannya itu nama Ibu? Dan wanita itu tahu namanya! Apakah Ibu masih hidup? Echa termangu sejenak, kemudian ia langsung memeluk wanita itu, walaupun dia tidak tahu siapa wanita itu.

"IBU!!!!!!!!!!!!!!!!!" teriak Echa sambil memeluk ibunya. "Jadi, Ibu masih hidup?"

Sebelum wanita itu sempat menjawab, seseorang menepuk bahu Echa, membuatnya kaget sekali.

"Ibu! Dimana Ibu? Dimana?" teriak Echa kaget.

"Sadar, Echa! Kamu baru saja bermimpi saat tidur!" kata Ayah menyadarkan Echa. Ternyata, ia hanya bermimpi. "Kamu pasti mimpi bertemu Ibu, kan?"

"Iya, betul. Aku bermimpi bertemu Ibu." kata Echa lemas.

"Tolong ceritakan mimpimu, Echa. Ayah ingin tahu ceritanya."

"Begini, aku bermimpi pergi ke sebuah taman bersama Ayah. Aku menyapa Ayah, namun Ayah sama sekali tak mengatakan apapun, Ayah juga tidak bergerak sedikitpun. Aku pun meninggalkan Ayah, dan aku bertemu seorang wanita yang memakai baju dan rok kuning, persis seperti yang Ibu pakai saat terakhir kali bertemu kita. Aku menanyakan namanya, dan ternyata namanya Indah, dan dia tahu namaku! Aku pun memeluknya, namun sebelum aku sempat menikmati mimpiku lebih lanjut, Ayah membangunkanku," cerita Echa.

"Jadi, begitu. Taman yang kamu maksud itu taman yang dulu sering kita kunjungi bersama Ibu, kan? Lalu kursi tempat aku duduk yang kamu maksud itu yang dulu sering aku duduki bersama Ibu, benar?" tanya Ayah.

"Betul, Ayah. Persis sekali seperti dulu."

Ayah langsung menarik baju Echa, membawanya keluar.

"Cepat mandi dan ganti bajumu! Kita harus pergi ke taman itu!" perintah Ayah dengan terburu-buru.

"Baik, Yah!"

Echa pun langsung mengambil baju, mengambil handuk, kemudian masuk ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat cepat, yaitu 5 menit. Setelah keluar dari kamar mandi, ia menaruh handuk ke tempat jemuran, kemudian naik ke mobil Jeep milik Ayah untuk pergi ke taman yang dulu sering ia kunjungi bersama Ayah dan Ibu.

Begitu turun, Echa langsung berlari ke taman itu. Ia sangat rindu dengan taman itu. Maklum, sejak Ibu pergi, Ayah tak pernah mau datang ke taman ini.

Ayah menepuk bahu Echa dan bertanya, "dimana kamu melihat Ibu di mimpimu?"

"Disana, aku bermimpi berjalan kesana, dan aku bertemu Ibu di dekat air mancur itu!" kata Echa sambil menunjuk air mancur yang tak begitu jauh dari tempat ia berpijak.

"Terima kasih, Echa. Kamu tunggu disini, biar Ayah pergi kesana! Ingat, jangan pergi kemanapun, tetaplah disini! Bila kamu lelah, masuk saja ke dalam mobil!" perintah Ayah.

"Iya, Ayah! Aku takkan pergi, kok,"

Ayah berlari kencang menuju tempat air mancur yang ditunjuk Echa.

"Ah, Ayah ini aneh, deh. Kejadian itu, kan, hanya mimpi?" kata Echa pada dirinya sendiri.

Ayah terus berlari tanpa memedulikan apapun di sekitarnya. Akhirnya, Ayah sampai juga ke tempat air mancur itu berada.

Kira-kira, apakah mimpi Echa itu benar? Ah, tidak mungkin, Indah sudah meninggal! Mana mungkin dia ada di tempat ini? Itulah yang dipikirkan Ayah sekarang.

Ayah terus berlari, hingga sampai di depan air mancur, tempat kedua yang dulu sering dijadikan Ayah tempat duduk bersama Ibu. Ayah duduk sejenak di pinggir air mancur itu, sambil melihat ke kanan dan kiri. Ketika menoleh ke kiri, Ayah melihat seorang wanita. Wanita itu persis seperti Ibu ketika terakhir kali bertemu Ayah.

Tidak, aku pasti hanya mengkhayal! Indah sudah meninggal, tidak mungkin ada Indah disini! pikir Ayah.

Walaupun tidak percaya wanita itu adalah Ibu, Ayah tetap menghampiri wanita itu.

"Maaf, kalau boleh tahu, siapa nama Anda?" tanya Ayah sopan.

"Oh, kamu pasti Amir, suami Indah, kan?" tanya wanita itu. "Aku Indie, saudara kembar Indah. Aku lahir lebih dulu daripada Indah. Sebelum meninggal, Indah sering bercerita mengenai Anda. Indah juga berpesan agar aku memakai baju ini setelah dia meninggal, karena itu aku memakai baju yang sama dengan baju sebelum Indah meninggal, karena dia meninggal saat berkunjung ke rumahku."

"Oh, begitu. Kukira Anda itu siapa. " kata Ayah. "Kalau boleh tahu, dimana rumah Anda?"

"O, tidak jauh. Hanya tinggal belok ke kiri dari taman," kata Indie.

"Baiklah, saya mohon pamit, anak saya sudah menunggu. Bila ada keperluan dengan saya, datang ke rumah saya, atau hubungi nomor rumah saya," kata Ayah sambil menyodorkan secarik kertas berisi alamat rumah dan kebunnya, dan juga nomor rumah dan toko tanamannya.

Ayah pergi meninggalkan Indie, dan kembali ke tempat Echa berada.

"Ayah baru darimana saja, sih? Aku sudah lama menunggu, nih!" kata Echa kesal.

"Maaf, Echa. Ayah terlalu rindu dengan taman ini, jadi rasanya tidak ingin keluar, namun karena Ayah membawamu, ayah terpaksa pulang, deh," kata Ayah dengan ekspresi yang dibuat-buat.

"Untung ada Rena, Yah. Kalau tidak, Echa pasti bosan disini terus, walaupun sebenarnya Echa rindu!" keluh Echa.

"Hahaha, maafkan Ayah, Sayang. Lagipula, siapa Rena? Ayah tak pernah mendengarnya,"

"Rena adalah teman baru Echa. Aku baru berkenalan hari ini. Dia orangnya menyenangkan. Wajahnya juga hampir sama dengan Echa. Dia juga menunggu ibunya yang juga pergi di dekat air mancur, sama seperti Ayah,"

Ayah kaget. Wajah anak itu sama seperti Echa? Apa itu anak Indie, saudara kembar istrinya?

"Apa kamu tahu siapa nama ibu anak itu?"

"Iya, nama ibunya adalah Indie."

"Indie? Dimana anak itu?"

"Itu, sedang memadangi bunga Sepatu putih,"

Ayah berlari mendekat ke anak itu. Ya, dia adalah keponakannya. Ia berusaha menyapa anak itu.

"Halo adik, siapa namanya?"

Anak itu sedikit ketakutan, takut kalau Ayah adalah penculik. Namun akhirnya anak bernama Rena itu tidak lagi takut pada Ayah.

Sebelum Rena sempat menjawab , Indie datang dan menghampiri anaknya, Rena.

"Halo Sayang, maaf membuatmu menunggu. Tadi apa yang kamu lakukan?"

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke Ayah.

"Oh, Amir!Masih disini, ya. Tadi apa yang Rena lakukan?"

"Tidak, dia hanya memandangi bunga Sepatu," jawab Ayah dengan seadanya.

Rena membisikkan sesuatu ke telinga ibunya. Indie mengerutkan dahinya.

"Kita mau mencari dimana?"

Anak itu diam saja.

"Duh, Amir. Anakku meminta bunga Sepatu seperti yang ada di taman ini, tapi kira-kira ada dimana, ya?"

"Datang saja ke toko tanamanku. Disana semua tanaman ada."

"Oya, aku pernah mendengarnya dari Indah. Namun aku tidak membawa mobilku, jadi tidak bisa."

"Tidak apa-apa, naik saja mobilku."

Indie dan Rena naik ke mobil Jeep milik Ayah. Di mobil, Echa banyak berbincang-bincang dengan Rena. Mereka sekarang menjadi sahabat.

Sesampainya di toko tanaman, mereka semua pun turun. Rena kelihatan sangat bahagia. Ia sudah tak sabar ingin memiliki bunga Sepatu putih seperti yang dilihatnya di taman.

"Ya, inilah toko tanamanku," kata Ayah bangga.

Setelah semuanya masuk ke kebun Ayah, Ayah menutup pintu toko. Rena berjalan-jalan di toko tersebut, melihat tanaman-tanaman yang sudah terpajang rapi.

"Disini tidak hanya menjual tanaman dan bunga, tetapi juga bibit dan pupuknya. Disini juga menjual bunga-bunga plastik untuk diberikan ke orang-orang tercinta. Untuk lebih lengkap, bacalah di spanduk di depan toko," kata Ayah, mempromosikan tokonya.

Tiba-tiba, Rena berteriak, mengagetkan semua yang ada di toko tersebut.

"MAMA!!! AKU MAU BUNGA YANG INI!!!" teriak Rena bersemangat.

Indie segera menghampiri Rena dan berkata, "kamu ingin membeli bunga ini? Baiklah, nanti Mama bilang ke Om Amir,"

"Om, Mama?"

"Iya, Om Amir itu yang tadi Rena temui di taman,"

Indie segera menghampiri Ayah dan berkata, "Anakku ingin sebuah bunga Sepatu putih kecil, berapa harganya?"

"Khusus untuk Rena, harganya gratis,"

Indie kaget. Ayah memang orang yang dermawan, Ayah senang membuat orang senang dengan pemberiannya.

"Seriuskah?"

"Iya, khusus untuk Rena. Hari ini tidak ada pelanggan, jadi tidak usah malu dapat gratis," kata Ayah sambil tersenyum.

Indie sedikit terkikik mendengarnya. Indie mengambil bunga Sepatu putih yang diinginkan Rena, kemudian membawanya ke Ayah.

"Apa yang kira-kira harus aku beli jika aku memelihara bunga ini?" tanya Indie.

"Hanya sebuah penyiram dan pupuk," jawab Ayah. "Sebentar kuambilkan, ya,"

Ayah kembali dengan membawa penyiram dan pupuk tanaman. "Ini gratis, kok. Khusus untuk Rena,"

"Ah, jadi malu, deh. Jangan begitu, nanti toko ini bisa rugi, lho," kata Indie malu.

"Oh, tidak, kok. Saya tulus memberikannya,"

Ayah membungkus bunga yang dipilih Rena beserta penyiram dan pupuknya ke sebuah keresek putih, kemudian diberikan ke Indie.

"Oya, bolehkah jika aku ingin membantumu mengurusi toko ini? Sepertinya, kamu bekerja sendirian, ya?" tanya Indie.

"Boleh saja, saya senang jika ada yang ingin membantu mengurusi toko ini, tapi apakah kamu bisa memaklumi jika gaji yang diberikan tidak begitu besar?"

"Ah, tidak perlu gaji. Aku kan, saudaramu. Aku tulus, kok, bekerja disini,"

"Baiklah, toko ini buka setiap hari, tapi jika kamu tidak bisa datang setiap hari, tidak apa-apa. Ka mu bisa mulai bekerja besok," kata Ayah menjelaskan.

"Terima kasih atas semuanya, Amir!"

"Terima kasih juga, Indie!"

Keesokan harinya, Indie sudah mulai bekerja di toko tanaman Ayah. Akhirnya, Ayah berhasil keluar dari keterpurukannya setelah ditinggal oleh Ibu. Sekarang Echa dan ayahnya menemukan saudara baru, saudara yang tak pernah ditemui sebelumnya dan mengubah kehidupan mereka.