Kamis, 11 November 2010

Arti Sonata "Hari-hari Meneteskan Air Mata"

Chika duduk termenung di kursi halaman rumahnya. Di tangannya terdapat foto seseorang yang sangat ia cintai. Orang itu mengingatkan Chika pada suatu kejadian yang buruk, sangat buruk. Bisa jadi itu adalah kejadian terburuk yang pernah dialaminya.


Chika teringat pada kejadian itu lagi. Saat itu, ia bersama adiknya, Thya, sedang bermain layang-layang di lapangan. Adiknya tak sengaja melepaskan layang-layang. Tanpa berpikir panjang, adiknya langsung berlari melewati jalan raya untuk mengejar layang-layangnya yang terbang. Karena tak melihat adanya mobil, Thya pun tertabrak mobil itu dan tewas seketika.

Sejak saat itu, Chika tak lagi menjadi anak yang ceria. Ia lebih banyak diam daripada berbicara. Ia tak lagi menjadi anak yang menyenangkan dan suka mengeluarkan humor segar seperti dulu. Sekarang, Chika adalah anak yang dingin dan terkesan terlalu serius.

Bila dulu Chika hobi bermain layang-layang, petak umpet, dan berbagai permainan lain bersama Thya, sekarang ia hampir tak memiliki hobi. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung di tempat sepi. Ia tak ingin ada siapapun yang mengganggunya ketika ia sedang merenung.

Tak terasa, bulir-bulir air mata membasahi pipi Chika. Ia menangis karena teringat masa-masa bahagianya bersama Thya.

"Mengapa harus engkau yang meninggalkanku, Thya, mengapa? Aku tak pernah sengaja melakukan kesalahan padamu, tetapi mengapa Tuhan mengambilmu secepat angin berlalu? Aku tak pernah berharap ini akan terjadi, karena hanya kaulah satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa. Sekarang, hidupku hampa tanpamu, Thya. Hidupku bagaikan makanan tanpa bumbu, tak berasa apapun. Kosong. Kalau saja aku harus mengorbankan sesuatu yang aku punya demi mendapatkanmu kembali, pasti akan kuberikan demimu, Thya! Tapi aku sadar, Tuhan pasti memiliki rencana dibalik semua ini. Ya, walaupun kau telah meninggalkan dunia ini, tetapi kau akan tetap hidup di dalam hatiku selamanya, Thya. Kau takkan pernah mati di hatiku. Hidup boleh sementara, tapi cinta akan ada untuk selamanya."

Ketika Chika menghapus air matanya, seseorang menepuk bahunya dengan keras.

"Apa yang kau lakukan disini, Chika?" kata orang itu.

Chika membalikkan badannya, kemudian berkata, "Risa, bukankah aku sudah bilang padamu, bahwa aku tak ingin diganggu oleh siapapun saat ini?"

Ternyata, orang yang menepuk bahu Chika adalah Risa, salah satu sahabat terbaik Chika. Risa bagaikan wadah bagi Chika untuk menumpahkan segala isi hatinya. Tak heran bahwa mereka berdua selalu bisa saling mengerti dan akur.

"Oh, maafkan aku, Chika. Aku lupa, hehe. Kelihatannya kamu sedang ada masalah, ya? Biar aku mendengarkan keluh kesahmu, Chika."

Chika menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan semuanya yang mengganjal hatinya.

"Kamu tahu, kan, bahwa Thya, adikku, meninggal 2 hari yang lalu? Sekarang aku baru merasakan rasa perih yang sesungguhnya setelah ditinggalkan olehnya. Rasa perih ini sepertinya takkan terobati oleh apapun, Risa. Mungkin kamu hanyalah satu-satunya obat yang manjur untuk mengobati luka hatiku,"

"Begitu, ya. Aku bisa mengerti, kok. Walaupun aku tak pernah mengalaminya, namun aku bisa merasakan perihnya hatimu sekarang ini, Chika. Tetap tabah, ya. Semua manusia pasti akan meninggal, termasuk Thya. Setiap ada awal, pasti ada akhir. Kita harus selalu kuat menghadapinya. Aku berjanji akan selalu menemanimu dan melindungimu selama aku masih bisa bernafas. Kita, kan, sahabat sejati!" kata Risa.

Risa merangkul Chika. Mereka pun saling berpelukan.

Tiba-tiba, Chika menarik tangan Risa dan membawanya ke dalam rumahnya.

"Tolong mainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' karya Wolfgang Amadeus Mozart untukku. Itu adalah sonata yang paling sering aku mainkan setiap aku merasa sedih. Sekarang aku ingin mendengar sonata itu dimainkan oleh sahabatku sendiri, agar terkesan spesial. Tolong, ya, Risa, aku sangat mengharapkanmu," kata Chika memohon.

"Hmm.... baik! Akan kumainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan penuh cinta untuk sahabat terbaikku, Chika." kata Risa.

Risa duduk di kursi, kemudian menekan tuts piano satu persatu. Ia memainkan piano dengan sangat serius, hingga air mata pun jatuh membasahi pipinya.

"Hari ini benar-benar hari meneteskan air mata, ya," kata Risa dengan suara bergetar.

Chika hanya mengangguk pelan. Ia terlalu lemah untuk berbicara. Kesedihannya semakin terasa setelah mendengar sonata gubahan Mozart itu.

"Ya, setiap hari adalah hari meneteskan air mata untukku. Terima kasih, Risa, atas permainan pianomu yang begitu menyentuh," isak Chika.

"Sama-sama, Chika. Aku juga senang bisa memainkan sonata yang indah ini untukmu. Mozart memang hebat, ya. Walaupun usianya sangat singkat, yaitu 35 tahun, namun ia bisa menciptakan banyak sekali sonata yang indah, seperti 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' ini," kata Risa.

"Kau benar, Risa. Akupun salah satu penggemarnya," balas Chika.

"Hmm... Chika, bolehkah aku memainkan sonata ini 2 hari sekali untukmu? Aku ingin sekali menghiburmu dengan sonata ini, karena kelihatannya kau sangat menyukainya," tawar Risa.

Chika terkejut. Ia menjawab, "Oh, benarkah kau mau melakukannya? Terima kasih, ya! Boleh, kok!"

"Oke, aku bisa, kok, mengatur waktunya. Jam berapa kira-kira aku bisa datang lagi ke rumahmu?"

"Hmm... kau bisa datang kira-kira jam 3 sore. Itu kalau kau ada waktu, ya. Kalau tidak bisa, tak apa-apa, kok, tapi tolong beritahu aku dulu kalau kamu tak bisa datang. Nanti aku bisa khawatir kalau kau tak memberitahuku kalau kau berhalangan,"

"Baik, Chika! Sampai ketemu lusa!" kata Risa sambil melambaikan tangan dan berjalan keluar dari rumah Chika.

"Dadah!" kata Chika sambil melambaikan tangan.

Tak terasa, sudah 5 kali Risa datang ke rumah Chika untuk memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata'. Sudah 5 kali pula Chika dan Risa menangis bersama setiap mendengarkan sonata indah itu.

Hari Selasa, Chika merenung di halaman rumahnya.

Meskipun langit telah berubah menjadi gelap, tetapi Risa tak kunjung datang. Entah mengapa, Chika merasakan suatu firasat buruk.

"Kira-kira apa yang terjadi dengan Risa, ya? Mengapa ia tak kunjung datang? Jangan-jangan... ah, aku tak boleh berpikiran buruk! Aku harus tetap optimis! Mungkin ia hanya terlalu sibuk dan tak sempat memberitahuku, bahwa dia berhalangan untuk datang," gumam Chika.

Keesokan harinya, Bu Rita, wali kelas 7A, mengumumkan sesuatu.

"Anak-anak, Bu Rita ingin mengumumkan, bahwa salah satu saudara kita, Marisa Ellina Putri, baru saja masuk rumah sakit Medicia untuk dirawat mulai hari ini. Soal penyakit yang dideritanya, Bu Rita sendiri belum tahu pasti. Yang jelas, ia sangat membutuhkan bantuan dan doa kita, karena sakitnya lumayan parah," kata Bu Rita di depan kelas.

Semua siswa mengangguk pelan.

Apa, Risa menderita penyakit parah dan dirawat di rumah sakit? Bukannya kemarin ia terlihat baik-baik saja? Sudahlah, mungkin nanti aku bisa menjenguknya di rumah sakit Medicia, batin Chika.

Keesokan harinya, setelah meminta izin dari orang tuanya dan membuat janji untuk saling bertemu dengan orang tua Risa, Chika langsung berangkat ke rumah sakit Medicia untuk menjenguk Risa. Ia melangkah tanpa henti, demi sahabatnya tercinta.

Ternyata, Risa dirawat di ruangan "Begonia". Beberapa hari sebelumnya, Risa dirawat di ICU. Setelah dokter memvonis penyakitnya, ia dipindahkan ke ruangan lain.

Setelah masuk, Chika langsung menghampiri tempat Risa berbaring. Wajah Risa terlihat pucat dan cekung, matanya terlihat lemah. Walaupun begitu, Risa masih bisa tersenyum ketika Chika datang.

"Halo, Chika. Terima kasih telah datang," kata Risa sambil tetap tersenyum.

"Risa, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau kemarin bisa masuk ruang ICU? Kata Bu Rita, kau menderita penyakit yang cukup parah," kata Chika.

"Oh, tidak juga, kok. Aku baik-baik saja. Hanya saja aku agak lemah, jadi untuk sementara aku harus beristirahat," kata Risa pelan.

"Baik-baik saja bagaimana? Lihatlah dirimu, kau terlihat sangat lemah! Kau harus memperhatikan kesehatanmu lebih dari apapun, Risa!" kata Chika panik.

"Jangan terlalu panik, Chika. Berdoa saja agar aku bisa segera kembali menemanimu dan teman-teman lainnya," kata Risa.

Tiba-tiba, Risa memegang daerah sekitar pingganggnya sambil berjengit.

"Ah, sakit!" keluh Risa.

Chika langsung panik. "Apa kau tak apa-apa, Risa?"

Gejala yang dialami Risa persis seperti seorang penderita penyakit ginjal.

"Aku tidak apa-apa, Chika. Tenang, ini sudah biasa, kok." desah Risa.

Walaupun Risa mencoba menenangkannya, namun Chika tetap tak bisa tenang melihat sahabatnya yang kesakitan. Ia langsung memanggil ibu Risa untuk menolong anaknya.

"Tante, tolong Chika sebentar! Risa mengerang kesakitan sambil memegangi daerah di sekitar pinggangnya! Apakah dia menderita penyakit ginjal, Tante?"

"Oh, begitu! Ya, dia memang menderita penyakit gagal ginjal, Chika. Dan setiap pukul 4 sore, ia harus cuci darah. Aduh, Tante lupa bahwa sekarang sudah saatnya ia cuci darah. Terima kasih karena telah memperingatkan Tante, ya, Chika. Kalau kamu tak mengingatkan, pasti Risa akan lebih lama kesakitan."

Chika sangat terkejut. Wajahnya berubah menjadi sangat pucat. Ternyata benar tebakannya, Risa menderita gagal ginjal. Ternyata, Risa mencontoh Mozart tak hanya dari bakat musiknya, tapi juga dari penyakit yang dideritanya.

Chika dan ibu Risa langsung menghampiri Risa dan membawanya ke ruang cuci darah. Mereka membawa Risa dengan kuris roda.

Dalam perjalanan pulang, Chika tak henti-hentinya berdoa demi keselamatan Risa. Ia tak ingin lagi kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Cukup Thya saja yang dipanggil dalam usia muda oleh Tuhan.

Setelah pulang, Chika membuat rencana besar. Ia menulis reklame yang berisi ajakan untuk menggalang dana untuk diberikan kepada Risa sebagai bantuan agar biaya rumah sakit tak begitu berat.

Keesokan harinya, Chika meminta izin kepada kepala sekolahnya untuk menyebarkan reklame ini di sekolah. Untungnya, kepala sekolah Chika, Bu Liana, sangat mendukung Chika. Bahkan, beliau mengumumkan hal ini di sekolah ketika upacara bendera, agar semua orang bisa memberikan bantuan untuk Risa.

Selama seminggu penuh, Chika selalu menjenguk Risa sepulang sekolah. Ia tak pernah lupa membawakan makanan rebusan untuk Risa, agar Risa aman memakannya.

Tak hanya berusaha menggalang dana dari teman-teman sekolahnya, tapi Chika juga mengajak orang tuanya untuk memasang iklan di koran. Siapa tahu ada orang yang membaca dan kebetulan ginjalnya cocok untuk didonorkan kepada Risa, sehingga Risa bisa selamat.

Beberapa hari kemudian, Chika kembali datang ke rumah sakit untuk menjenguk Risa lagi. Kali ini, ada suatu berita buruk yang pastinya sangat menyakitkan hati Chika dan keluarga Risa sendiri.

"Tante, Risa masih rutin cuci darah, kan?" tanya Chika.

Ibu Risa hanya menggeleng lemah.

"Lho, kenapa? Bukannya dia belum mendapatkan donor ginjal?"

Ibu Risa terdiam sejenak. Chika bisa merasakan, bahwa ibu Risa sedang bersedih.

Setelah menarik nafas panjang, ibu Risa berkata, "Kami tak memiliki biaya, Chika. Kami kehabisan biaya untuk membiayai cuci darah Risa. Sekarang, kami hanya bisa membiayai kamarnya saja..."

Ibu Risa menangis. Air mata membasahi pipi beliau. Chika pun bisa merasakan hal yang sama. Keduanya merasakan, bahwa sepertinya hidup Risa takkan lama lagi. Sebentar lagi, Risa akan dipanggil oleh Tuhan.

"Tabah, ya, Tante. Aku pasti akan berusaha berdoa dan membantu sebisa mungkin. Akan kulakukan yang terbaik demi keselamatan Risa," kata Chika sambil tersenyum kelu. Senyumnya terasa berat sekali.

Chika semakin rajin menggalang dana untuk Risa. Ia tak malu untuk meminta bantuan dari guru-guru, agar pendapatan semakin banyak. Bahkan, Chika pun menjual beberapa barang miliknya untuk mendapatkan uang lagi.

Selama berhari-hari juga, Chika menunggu seseorang mendonorkan ginjal untuk Risa. Namun, tak ada satupun orang yang sudah berusaha mendonorkan ginjalnya untuk Risa.

Setiap hari Chika membawa uang hasil pendapatannya kepada Risa. Hasilnya cukup baik, sekarang Risa bisa cuci darah lagi, walaupun tak rutin seperti dulu. Risa pun sekarang bisa mengikuti homeschooling untuk sementara agar ia tak tertinggal pelajaran dan Chika tak perlu susah-susah lagi menyampaikan pelajaran yang ia dapatkan di sekolah kepada Risa.

Saat malam tiba, Chika tak dapat tidur. Ia terus memikirkan Risa. Ia takut Risa tak dapat selamat. Hasil pendapatannya dari teman-temannya pun sedikit sekali, tak sebanyak kemarin. Sepertinya, Chika tak dapat menolong Risa lagi kali ini. Hasil penggalangan dana sedikit, dan tak ada orang yang mau mendonorkan ginjal untuk Risa. Hanya doa yang bisa Chika berikan untuk Risa.

Chika pun memutuskan untuk bermain piano. Ia memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' sambil merasakan kesedihannya yang dalam. Berharap Risa mendengarnya, walaupun itu rasanya tak mungkin.

"Tuhan, bila kau ingin mengambil Risa sekarang, maka ambillah. Namun buatlah hati hamba dan kerabat-kerabat hamba sabar dalam melepaskan Risa yang sangat kami sayangi. Sungguh, kami mencintainya lebih dari apapun," gumam Chika.

Sambil memandangi langit malam, Chika terus berdoa demi keselamatan Risa. Ia berharap Tuhan mendengar dan mengabulkan doanya.

Tiba-tiba, telpon rumah Chika berbunyi. Chika langsung mengangkatnya.

"Halo, dari siapa ini?"

"Chika, apakah ini kamu?"

"Ya, betul. Maaf, bisa saya tahu dari siapa ini?"

"Chika, tolong datang ke rumah sakit Medicia sekarang! Ini Tante Kelly, ibu Risa! Risa tiba-tiba mengerang kesakitan! Kami tak dapat membiayai cuci darahnya lagi, karena uang kami tak memadai untuk itu! Tolong, Chika, dia pasti akan lebih baik setelah bertemu denganmu!"

"Oh, begitu, ya! Oke, aku akan secepatnya kesana!"

Gagang telpon langsung ditutup oleh ibu Risa. Mendengar suara ibu Risa yang begitu panik, Chika pun juga ikut panik. Ia harus ke rumah sakit Medicia secepatnya!

Terpaksa Chika membangunkan orang tuanya untuk mengantarnya ke rumah sakit Medicia. Dengan memakai mantel, Chika bersama kedua orang tuanya bergegas ke rumah sakit Medicia.

Setelah sampai di rumah sakit Medicia, Chika langsung masuk ke ruangan "Begonia". Ia mendengar suara berjengit Risa yang sangat keras. Ia kelihatan sangat kesakitan. Di sebelahnya, kedua orang tua Risa terlihat sangat cemas akan keselamatan anaknya.

"Risa! Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Chika panik.

"Ini... bukan apa-apa, Chika... aku... tak apa-apa...." desah Risa.

"Tak apa-apa bagaimana? Kau terlihat sangat kesakitan!" teriak Chika.

Ibu Chika menepuk bahu Chika dan berkata, "Chika, jangan berteriak-teriak disini. Tolong tenang, kamu masih bisa, kok, menolongnya dengan doa,"

"Itu benar, Chika. Jangan terlalu panik. Justru kepanikanmu membuat Risa sedih, iya, kan?" kata ibu Risa.

"Betul kata ibuku, Chika... aku sangat sedih bila kau panik begitu, karena aku tak tega meninggalkanmu dalam kondisimu yang begitu sedih. Jangan sedih, ya, tolong! Bila hari ini Tuhan akan memanggilku, itu memang sudah takdirku, bukan karena salah siapapun, termasuk kau. Setiap yang lahir akan merasakan mati, begitu juga aku. Tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan hidup selamanya. Tolong jangan sedih kalau aku harus meninggalkanmu sekarang, karena aku ingin beristirahat untuk selamanya dalam kedamaian.

Chika hanya bisa terdiam. Ia berpikir sejenak, kemudian mengeluarkan sebuah kantong berisi uang hasil pendapatannya untuk Risa.

"Ini ada sedikit bantuan dariku dan warga sekolah kita, Risa. Tolong diterima, jangan dilihat dari jumlahnya. Mungkin ini sedikit, namun kami menyertai cinta kami di dalam uang ini untukmu. Tak lupa diiringi doa dari kami yang tulus. Aku ingin sekali uang itu bermanfaat bagimu dan keluargamu, bila Tuhan mengizinkan," kata Chika sambil menyerahkan uang kepada Risa.

"Aduh, terima kasih sekali, ya, Chika. Kamu memang sahabatku yang paling setia. Sampaikan juga ucapan terima kasihku kepada orang-orang yang ikut menolongku, ya," kata Risa sambil tersenyum tipis.

"Iya, pasti akan kusampaikan kepada mereka,"

Rasanya sangat bahagia ketika melihat senyum tipis Risa, menandakan Risa sangat senang dengan pemberian Chika dan teman-temannya. Syukurlah, semoga bermanfaat untuk Risa.

"Chika, tolong antarkan aku ke ruangan musik. Kamu tahu, kan, yang mana ruangannya?" kata Risa.

"Risa, keadaanmu tak memungkinkan untuk bermain musik. Aku tak bisa mengantarkanmu kesana," kata Chika tegas.

"Tolong, Chika. Aku ingin memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' untuk terakhir kalinya untukmu. Kurasa, ini akan menjadi permainan piano terakhirku, karena kurasa usiaku takkan lama lagi," kata Risa memohon.

Chika terkejut. Ia berkata, "Jangan berkata demikian, Risa! Apa kau tak sabar menunggu kematianmu sekarang? Apa kau sudah melupakan kami semua yang tulus mencintaimu sepenuh hati?"

"Tentu saja tidak, Chika. Justru aku berharap bisa hidup lebih lama, karena aku tak bisa meninggalkan kalian secepat angin berlalu. Aku masih menyayangimu dan orang-orang lain yang juga menyayangiku sepenuh hati. Tapi, siapa yang tahu kapan kematian akan menghampiriku? Maka aku ingin permainan pianoku ini menjadi penenang hati kalian, orang-orang yang menyayangi dengan tulus sepenuh hati. Tolong bawakan handycam ini untuk merekam permainan pianoku dan memfotoku saat bermain piano."

Chika membawa handphone yang dititipkan Risa kepadanya.

"Tante, Om, bolehkah aku membawanya ke ruang musik?" tanya Chika.

"Tentu saja boleh, Chika. Ia pasti senang bila kau mengizinkannya bermain piano," kata kedua orang tua Risa.

Chika pun meninggalkan ruangan "Begonia" bersama Risa. Mereka pergi ke ruang musik.

Setelah kursi tempat bermain piano disingkirkan dan diganti dengan kursi roda Risa, Risa mulai menekan tuts, namun tiba-tiba ia berhenti menekan tuts piano.

"Tunggu! Tolong rekam permainan pianoku dalam bentuk video. Setelah itu, tolong foto diriku ketika aku bermain piano,"

"Baik, Risa. Akan kulakukan yang terbaik untukmu,"

Risa mulai menekan tuts piano. Ia memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan penuh keseriusan. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik bagi Chika dan orang-orang yang disayanginya.

Setelah rekaman selesai, Chika langsung memfoto Risa ketika ia sedang menyelesaikan not terakhir sonata itu.

"Inilah permainan piano terakhirku. Kuharap kau menyukainya. Walaupun tak sebagus Mozart, namun aku berharap ini menjadi sonata terbaik yang pernah kumainkan untukmu," kata Risa.

"Iya, Risa. Kau akan kukenang selamanya, walaupun kau telah meninggal sekalipun. Kau akan hidup dalam hatiku untuk selamanya," kata Chika menghibur.

"Terima kasih atas hiburannya, Chika. Aku akan selalu menyayangimu juga. Tunggu..." tiba-tiba, Risa terjatuh dari kursi roda. Ia memegangi kepalanya sambil berteriak kencang.

"Ahh, nafasku... terasa... sesak! Otakku... serasa... mati rasa!" keluh Risa.

Chika terkejut. Ia memegangi tubuh Risa. Tubuh Risa bergetar, membuat tubuh Chika ikut bergetar. Badan Risa pun panas sekali.

"Risa, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau bisa seperti ini?" tanya Chika cemas.

"Sepertinya, hidupku... memang... sudah tak lama... lagi, Chika... kalau aku memang akan meninggal sekarang, tolong ambil ini..."

Dengan bersusah payah, Risa meraih secarik kertas dan diberikannya kepada Chika.

"Itu... adalah... puisi buatanku... sendiri... tolong disimpan, Chika..." desah Risa.

Chika melihat isi kertas itu. Isinya berupa puisi sederhana. Sebelum Chika sempat membaca, Risa berkata lagi untuk terakhir kalinya.

"Inilah saatnya aku meninggalkan semua orang, Chika.... terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku selama ini... sampaikan rasa terima kasihku juga untuk semua orang yang berjasa bagiku, terutama keluargaku dan teman-teman kita... ucapkan juga kata 'selamat tinggal' dariku ini. Chika, aku sangat mencintaimu sebagai sahabat, dan tentu aku tak ingin pergi sekarang, karena aku masih ingin menemanimu hingga akhir hayatmu. Namun, bila Tuhan berkehendak lain, apa yang bisa kulakukan? Maka aku hanya bisa mengucapkan 2 kata yang berarti, yaitu... selamat tinggal..."

"Tidak, kamu tak bisa pergi sekarang, Risa! Jangan tinggalkan aku sekarang!" teriak Chika.

Chika sangat terpukul. Ia melihat jasad Risa dengan penuh kesedihan. Pipi Risa membengkak seperti orang yang sedang bermain terompet, sama seperti Mozart. Air mata tak hentinya keluar dari kedua matanya.

"Mozart, apakah rasa sedihmu ketika ajal hampir menjemputmu sama dengan kesedihan Risa saat ajal hendak menghampirinya? Apakah rasa sakit yang kalian rasakan juga sama? Apakah kalian sama-sama telah berdoa kepada Tuhan untuk memperpanjang usia kalian, karena kalian belum siap meninggalkan orang yang kalian cintai?" gumam Chika.

"Constanze, apakah rasa sedihmu ketika Mozart, suamimu, meninggal dunia sama dengan rasa sedihku ketika aku kehilangan Risa? Apakah luka hatimu ketika itupun sama sakitnya dengan luka hatiku sekarang ini? Apakah kau juga berharap Tuhan mengembalikannya ke dunia, sama seperti diriku sekarang ini?" gumam Chika.

Chika memeluk jasad Risa erat-erat, walaupun ia tahu Risa tak dapat merasakannya. Tubuh Risa sekarang dingin, tak seperti dulu lagi. Dingin seperti es batu.

Kini, perih itu semakin terasa. Perih yang dulu sempat tersembuhkan oleh Risa sekarang terasa lagi. Bagaikan baju yang sobek tambalannya. Bagaikan genting yang bocor. Chika tak punya lagi "penambal" hatinya yang terluka setelah ditinggalkan oleh Thya, adiknya tercinta. Kini, ia hanya sendiri. Tak ada siapapun yang bisa menghiburnya seperti dulu ketika ia baru saja kehilangan Thya. Kini, kehidupannya kembali menjadi seperti makanan tanpa bumbu, tak berasa apapun.

Chika membawa jasad Risa ke ruang "Begonia". Orang tuanya dan orang tua Risa terlihat panik.

"Apa yang terjadi pada Risa? Mengapa kedua matanya terpejam?" tanya ibu Risa.

Chika segera memeluk ibu Risa sambil terisak.

"Maafkan aku, Tante... Risa... Risa... ia sudah... meninggal dunia..." isak Chika.

"Apa, meninggal dunia?" kata kedua orang tua Chika dan kedua orang tua Risa.

"Iya, betul... maafkan aku, aku tak tega membiarkannya mengeluh ingin memainkan sonata 'Hari-hari Meneteskan Air Mata'," kata Chika.

"Kamu sama sekali tak bersalah, Chika. Justru Risa pasti senang karena ia bisa bermain piano untuk yang terakhir kalinya menjelang kematiannya," kata ibu Risa.

"Ini, Risa memberikan secarik kertas yang berisi puisi sederhana," kata Chika sambil menyerahkan kertas pemberian Risa.

"Oya, Tante pernah melihatnya menulis puisi itu, dan dia bilang, bahwa ia membuat puisi itu spesial untukmu, Chika. Kami harap kau menyukainya dan mau menyimpannya sebagai kenangan, karena Risa berharap begitu," kata ibu Risa.

"Pasti, Tante! Aku akan mengenangnya sebagai pemberian Risa yang terindah. Oya, ini video Risa saat ia bermain piano untuk yang terakhir kalinya,"

Chika menyerahkan handycam Risa kepada ibu Risa. Mereka semua, bersama kedua orang tua Chika, menonton video itu. Mereka semua menangis ketika menyaksikan video itu.

"Memang hebat, ya, Risa itu. Walaupun ia lemah, tetapi ia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk kita semua," kata Chika.

"Ya, memang benar begitu, Chika. Dia lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Maka sulit rasanya untuk menghalanginya menolong orang lain," kata ibu Risa.

Dengan berat hati, Chika pulang ke rumahnya bersama kedua orang tuanya. Dalam perjalanan pulang, ia lebih banyak diam. Ia masih terpukul dengan kematian Risa.

Keesokan harinya, Chika bersama kedua orang tuanya menghadiri acara pemakaman Risa. Bulir-bulir air mata tak hentinya keluar dari kedua matanya, melambangkan kesedihannya. Begitu pula dengan kedua orang tua Chika, mereka ikut bersedih atas kepergian Risa yang begitu cepat. Risa memang anak yang baik, ramah, dan suka menolong, maka tak heran jika kedua orang tua Chika pun menyukainya.

Chika memegang batu nisan Risa sambil berkata, "Risa, walaupun jasadmu telah dikubur dalam-dalam di dalam tanah dan jiwamu tak lagi berada di dunia ini, tetapi dirimu yang sesungguhnya tetap dalam hatiku untuk selamanya! Hidup boleh sementara, tapi cinta untuk selamanya! Dan kau takkan pernah bisa kulupakan untuk selamanya, aku berjanji takkan melupakanmu, Risa. Selamat beristirahat dalam kedamaian, ya. Kuharap Tuhan menjadikanmu sebagai penghuni surga,"

Hari Senin pun tiba. Chika berangkat ke sekolah. Rasa sedih karena ditinggalkan oleh Risa masih terasa dalam hatinya. Rasa sakit itu semakin terasa ketika ia melangkah. Biasanya, Risa selalu menyapanya ketika ia memasuki kelas, namun kali ini tak ada siapapun yang menyapanya. Teman-teman sekelasnya hanya memandangnya.

"Apakah kamu tahu penyebab Risa tak pernah kembali ke sekolah lagi, Chika?" tanya Nilla, salah satu teman sekelas Chika.

Chika menggeleng. "Aku tak tahu pasti. Coba kau tanyakan pada Bu Rita, ya, mungkin beliau tahu,"

Pada saat upacara bendera, kepala sekolah Chika, Bu Liana, berpidato dengan tema tentang wafatnya Risa kemarin.

"Anak-anak, mari kita berdoa bersama untuk ketenangan Marisa Ellina Putri. Berdoa.... mulai."

Selama 1 menit, seluruh warga sekolah berdoa bersama untuk Risa. Beberapa diantara mereka bahkan meneteskan air mata, termasuk Chika.

Setelah 1 menit berlalu, Bu Liana berkata, "Berdoa selesai. Mari kita dengarkan sebuah puisi yang akan dibacakan oleh... Chika Merryana!!!"

Tepuk tangan membahana di seluruh sekolah. Chika maju ke depan sambil membawa secarik kertas pemberian Risa yang berisi puisi karangan Risa.

"Teman-teman, tolong dengarkan sebentar sebuah puisi dari sahabat kita, Marisa Ellina Putri. Saya akan membacakannya, mohon dipahami isinya," kata Chika serius.

Chika berdeham 3 kali, kemudian mulai membaca puisi.

"Ku teringat masa kecilku diwaktu lalu,
Ketika itu, ku bermain bersama sahabatku di bumi ini
Menikmati indahnya dunia ciptaan Tuhan
Saat ku memandang langit biru dan pohon hijau
Ku bertanya dalam diriku sendiri,
Apakah keindahan ini hanya untuk sebentar saja?
Kapankah Tuhan akan memanggilku,
kemudian menghentikan keinahan ini kunikmati?
Masih seberapa lama lagi jatah hidupku?

Namun ku sadari,
tak ada gunanya menerka tanggal kematianku
Aku berusaha terus melangkah,
tanpa mempedulikan kapan aku akan mati
Terus kunikmati masa hidupku dengan bahagia
bersama orang-orang yang kusayangi

Suatu hari, Tuhan memperingatkanku sesuatu,
bahwa hidupku takkan bertahan lebih lama
Namun kubantah ilham Tuhan itu
Ku selalu berdoa alam kegelapan malam
Tuhan, perpanjanglah umurku
Aku tak ingin meninggalkan orang yang kusayangi
secepat angin berhembus

Namun, Tuhan kelihatannya berkata lain
Ia memberiku penyakit yang parah
Setiap hari aku menahan sakit yang sangat
Namun Tuhan juga peduli padaku
Ia memberiku banyak orang yang menyayangiku
Aku bagaikan larva dilapisi banyak kepompong
Orang tuaku, sahabatku, dan sahabat terbaikku,
Chika Merryana

Chika adalah malaikat penyelamat bagiku
Walaupun ia tak dapat menyelamatkanku dari kematian,
namun ia berusaha untuk menolongku dari keterpurukan
Ia mengorbankan tenaga dan harta demi diriku
Ia berusaha menolongku sekuat tenaga
Dan aku sangat berterima kasih padanya

Tuhan, Kau boleh ambil nyawaku ini,
tetapi tolong tenangkan hati mereka,
orang-orang yang menyayangiku
Berikanlah ketabahan pada mereka
ketika Engkau telah memanggilku
Jangan buat mereka sedih karena kepergianku
Jadikanlah mereka manusia penghuni surga
Agar mereka bisa berbahagia disana.

"Kawan-kawan, sadarlah!
Tak ada satupun yang abadi di dunia ini,
termasuk aku yang lemah
Kita semua bagaikan kupu-kupu
Yang akan pergi setelah menghisap nektar
Kita bagaikan seorang musafir
Yang singgah sementara untuk istirahat
Maka jadilah angin yang berhembus sementara,
namun menyejukkan banyak orang
Ingatlah, kawan-kawan!
Hanya Tuhan-lah yang abadi
Bila kau mencintaiku
Jangan berharap aku kan abadi
Bila kau mencintai Tuhan
Bersenanglah, karena Dia akan hidup selamanya."

"Sekian puisi dari sahabat kita ini, kawan. Semoga kalian bisa menghayati isi puisi ini," kata Chika mengakhiri puisinya.

"Ya, itulah puisi dari kawan kita, Chika! Beri tepuk tangan!" kata Bu Liana.

Seluruh warga sekolah bertepuk tangan untuk Chika. Chika pun bahagia, karena tak merasa sendirian lagi sekarang.

Di kamar tidurnya, Chika menjejerkan 3 foto. Foto pertama adalah foto Wolfgang Amadeus Mozart, komponis favoritnya. Foto kedua dan ketiga adalah foto Thya dan Risa. Kisah hidup Thya dan Risa hampir sama. Walaupun mereka hanya hidup sangat sebentar, namun mereka menyisakan sejarah yang akan terkenang untuk selamanya. Mereka tetap hidup dalam hati orang-orang yang menyayangi mereka. Jasa mereka akan dikenang semua orang dan takkan terlupakan. Itulah harapan Chika bagi mereka semua.

Akhirnya, Chika menyadari, bahwa ia masih memiliki banyak sekali orang yang sangat menyayanginya, tak kalah dengan Thya dan Risa. Ia tak sendirian, karena masih banyak orang yang siap menolongnya di saat ia kesulitan, seperti halnya Thya dan Risa. Tak seharusnya ia menangisi hal dan apapun yang telah berlalu. Tuhan pasti memiliki rencana dibalik semua musibah ini. Seperti apa yang dikatakan Risa, setiap ada awal, pasti ada akhir. Setiap yang pernah lahir akan merasakan mati. Tak ada gunanya mengharapkan orang yang sudah meninggal untuk kembali lagi ke dunia ini.

Chika memainkan 'Hari-hari Meneteskan Air Mata' dengan khidmat. Tak seperti sebelumnya, Chika tak lagi menangis ketika memainkan sonata ini. Justru ia merasa Thya dan Risa semakin "hidup" dalam hatinya. Nyawa mereka seolah berpindah ke dalam dirinya.

"Aku harus semangat untuk menyambut masa depan! Walaupun tak bersama Thya dan Risa, tetapi aku akan tetap berjuang! Mereka, kan, akan hidup dalam hatiku untuk selamanya. Selama darah masih mengalir, selama jantung masih berdetak, dan selama aku masih bisa bernafas, aku harus mempertahankan perjuangan hidupku ini hingga hidupku berakhir! Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil!" teriak Chika.

Yeah, it's time to begin a new life!









































1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus sekali ceritanya

btw.q PERTAMAX