Sabtu, 22 Mei 2010

Kejutan untuk Vera

Vera memiliki seorang sahabat, namanya adalah Tania. Mereka bersahabat sejak pertama kali bertemu, yaitu saat kelas 1 Sekolah Dasar. Tania adalah orang yang baik, dermawan, dan supel bergaul. Itulah yang membuat Vera sangat menyayangi Tania.

Vera dan Tania sudah seperti kakak dan adik. Tania sering sekali pergi ke rumah Vera. Begitu pula Vera. Ia sering datang ke rumah Tania. Mereka juga sering mengerjakan tugas sekolah bersama.

Saking eratnya persahabatan mereka, Vera dan Tania berjanji untuk bersekolah di sekolah yang sama bila mereka lulus Sekolah Dasar.

Walaupun mereka adalah 2 sahabat yang tak dapat dipisahkan, namun tidak selamanya mereka selalu rukun. Baru-baru ini, Tania bersikap aneh. Ia tidak lagi sering mengajak Vera pergi ke rumahnya atau ke kantin seperti biasanya.

Apa salahku? Mengapa dia menjauhiku? Dan mengapa dia melakukan ini secara mendadak?
Pikir Vera.

Sebelum pulang, Vera bertanya kepada Tania, "Tan, mengapa kamu menjauhi aku? Apa aku bersalah? Atau kamu hanya sibuk saja?"

Mendengar pertanyaan Vera, Tania menjawab, "Apa benar aku menjauhimu? Sepertinya hubungan kita masih seperti biasa, deh,". Setelah itu, ia langsung pergi meninggalkan Vera

Vera merasa bingung mendengar jawaban Tania. "Apa Tania marah padaku, sehingga ia tak mau banyak bicara denganku?" tanya Vera kepada Tania. Tania mendengarnya, namun ia tak menjawab sama sekali.

Aneh, tidak biasanya Tania lari ketika terjadi masalah antara aku dan dia, pikir Vera.

Keesokan harinya pun sama. Tania selalu berusaha menjauh dari Vera. Tania tak mau bicara sepatah katapun dengan Vera. Bahkan, Tania menolak ketika Vera mengajaknya ke rumah Vera.

"Tan, kalau kamu tidak ada kegiatan, kamu ke rumahku, ya! Apa kamu mau?" tawar Vera.

"Tidak, Vera. Aku tidak bisa datang ke rumahmu. Aku tidak ada kegiatan, tetapi aku sangat lelah, jadi jangan ganggu aku ketika aku pulang sekolah. Aku juga tak mau lagi bersahabat denganmu. Jangan datang ke rumahku juga, ingat!" tolak Tania dingin.

Vera yang mendengar jawaban Tania merasa terluka hatinya. Apa maksud Tania mengatakan itu padanya?

Vera langsung pergi dari hadapan Tania. Ia tak mau lagi mengejar-ngejar Tania seperti kemarin. Vera akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Tania kepadanya, yaitu menjauhi. Ia ingin melihat, apa yang akan Tania lakukan bila Vera menjauh dari Tania?

Keesokan harinya, Tania melakukan hal yang sama, tetapi lama kelamaan ia merasa kesepian. Ia merasa sepi, karena Vera menjauhinya.

Walaupun Vera telah menjauhinya, Tania tetap berusaha menjauhi Vera, walaupun ia sebenarnya sangat rindu ingin bergaul kembali dengan Vera.

2 hari setelahnya, Tania mencoba mendekati Vera. Ia berkata, "Ver, ini ada undangan dari Mia. Adik sepupunya berulang tahun yang ke 5," kata Tania sambil menyodorkan undangan ulang tahun Edy, adik sepupu Mia, temannya yang berulang tahun.

"Akhirnya kamu mau bicara denganku juga, Tan. Mengapa kamu tidak mau bicara denganku?" tanya Vera.

"Ah, itu akan kita urus nanti, tidak sekarang." jawab Tania singkat.

Vera membaca undangan adik sepupu Mia. Ia tidak melihat foto Edy di undangan itu.

"Aneh, kok tidak ada foto Edy, ya?" tanya Vera pada dirinya sendiri. "Ah, yang penting aku datang. Mia pasti akan sangat mengharapkan kedatanganku,"

Sepulang sekolah, Vera cepat-cepat mandi dan mengganti baju seragam dengan baju pesta. Ia segera pergi ke rumah Mia untuk datang ke pesta ulang tahun Edy.

Di depan panggung, MC pesta membuka acara ulang tahun.

"Halo adik-adik! Terimakasih telah datang ke pesta ulang tahun ini. Adik-adik sudah siap, kan, untuk bersenang-senang di acara ini? Nah, sebelum kita memulai permainan, mari kita beri tepuk tangan untuk adik Mia yang akan membuka permainan kita!! "

Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Mia ke panggung.

"Teman-teman, terima kasih telah datang ke pesta ini. Kita akan melakukan berbagai permainan yang seru! Yang menang akan mendapat hadiah, jadi bermain dengan semangat, ya! Semua anak juga akan diberi suvenir dan makanan. Sebelum permainannya dimulai, aku ingin mengatakan, bahwa sebenarnya yang membuat pesta ini bukan aku, tetapi kak Tania! Beri tepuk tangan meriah untuk mengiringi langkah Tania!"

Semua orang yang mendengarnya bingung. Bukannya ini pesta Edy, adik sepupu Mia? Mereka memberi tepuk tangan, tetapi tidak semeriah ketika Mia naik ke panggung.

"Teman-teman, sebenarnya ini bukanlah pesta Edy," kata Tania. "Pesta ini kupersembahkan untuk........ Navera Putri!!"

Vera yang mendengarnya terkejut. Pesta ini untuknya? Tidak mungkin! Ternyata, inilah alasannya di undangan pesta ini tidak terdapat foto Edy.

"Ayo Vera, maju ke depan!! Pesta ini khusus untukmu!! Hari ini hari ulang tahunmu, kan?" kata Tania sambil tersenyum.

Vera maju ke depan dengan tubuh yang gemetar saking kagetnya.

Di panggung, Vera mengatakan, "Terima kasih sebesar-besarnya untuk semua yang telah datang dan berpartisipasi di pesta ini, aku tidak menyangka akan mendapat kejutan yang seperti ini,"

Pesta berlangsung selama 90 menit. Sebelum pulang, Vera berkata kepada Tania, "Tan, apa ini alasannya, mengapa kamu menjauhiku beberapa hari ini?"

"Betul! Kok kamu bisa tahu, sih? Hebat, deh!"

"Iya, tapi jangan begitu, dong. Aku, kan, jadi bingung, kok Tania yang baik jadi begitu?"

"Ya, maaf, deh. Aku janji tidak akan melakukannya lagi....."

Kedua sahabat itu pun bersatu lagi untuk selamanya

Sabtu, 01 Mei 2010

Bertemu Saudara Baru

Pak Amir memiliki sebuah kebun sekaligus toko tanaman dekat rumahnya. Banyak orang yang menyukai kebun sekaligus toko tanaman Pak Amir. Bahkan, banyak orang dari luar negeri yang sering datang ke toko tanaman Pak Amir bila mereka datang ke Indonesia.

Semua jenis tanaman ada di toko tanaman Pak Amir. Semuanya masih segar dan sehat. Pak Amir juga jujur dalam mengadakan jual beli dengan pembelinya, maka tak heran jika semua orang suka membeli tanaman di toko Pak Amir. Biarpun telah sukses, namun Pak Amir tetap rendah hati dan dermawan. Hasil penjualannya sering disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Pak Amir memiliki seorang anak yang diberi nama Echa. Echa anak yang baik, jujur, manis, dan berbakti kepada orang tuanya. Echa juga anak yang cerdas, dia pandai menolong ayahnya mengurusi toko, dan sering meraih peringkat pertama di kelasnya.

Sebentar lagi Echa akan menghadapi UASBN di sekolahnya. Dia semakin giat belajar, namun juga tak melupakan tugasnya untuk membantu ayahnya mengurusi toko.

Suatu pagi ketika Echa sedang membantu Pak Amir menata tumbuhan, Pak Amir menanyakan sesuatu pada Echa.

"Echa, kamu, kan sebentar lagi akan menghadapi UASBN, kamu harus memperbanyak belajar saja, biar ayah urusi sendiri tanaman-tanaman ini,"

"Tidak, Ayah. Aku sangat senang menolong Ayah mengurusi tanaman ini, karena aku anak ayah," jelas Echa.

"Ayah tahu, tetapi sebentar lagi UASBN akan kamu hadapi. Kamu harus memperbanyak belajar jika kamu ingin lulus. Lagipula, Ayah, kan bisa meminta tolong orang lain untuk menolong Ayah jika Ayah butuh bantuan, jadi tidak usah bingung, Echa sayang....."

"Baiklah jika Ayah memang ingin begitu, tapi jika Ayah butuh bantuan, Ayah harus bilang, ya,"

Echa pun pergi meninggalkan ayahnya, dan mulai membolak-balik buku pelajarannya. Ia berusaha fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya tetap tertuju pada ayahnya. Wajar saja, sejak ibunya pergi, Echa hanya hidup bersama ayahnya di sebuah rumah sederhana. Mereka hidup dari penghasilan toko tanaman mereka. Sejak ibunya pergi, Echa berjanji akan selalu membuat ayahnya bahagia, dan janjinya masih dijalankan sampai sekarang. Buktinya, Echa masih saja memikirkan ayahnya yang sedang bekerja.

Echa berusaha fokus pada pelajaran, dan akhirnya ia berhasil fokus pada pelajaran. Tahukah kamu apa yang membuat Echa bisa fokus? Karena ia terus memikirkan perintah ayahnya untuk rajin belajar! Dalam hatinya, Echa terus berjanji untuk memenuhi perintah beliau, yaitu menjadi orang yang sukses dan rajin, sehingga dapat hidup bahagia.

Tak terasa, sekarang sudah malam. Echa sudah menyelesaikan belajarnya. Ia pun keluar dari rumah dan mencari ayahnya. Pak Amir masih merapikan toko.

"Ayah pulang saja, biar aku yang mengurusi ini,"

Perkataan Echa membuat Pak Amir kaget dan hampir menjatuhkan tanaman yang sedang dipegangnya.

"Duh, Echa. Membuat Ayah kaget saja, tiba-tiba ada disini,"

"Maaf, Yah! Biar Echa yang merapikan semuanya, Ayah pasti lelah, kan?"

"Tidak, terima kasih, Echa. Ayah bisa merapikannya sendiri, kok, kalau mau bantu Ayah membawa tanaman Gelombang Cinta ke ujung sana,"

"Oke, Ayah! Akan aku bawakan untuk Ayah tercinta!"

Echa pun membantu ayahnya membawa tanaman Gelombang Cinta ke ujung, seperti yang ditawarkan ayahnya. Gelombang Cinta itu sekarang berjejer bersama tanaman-tanaman lain yang belum terjual.

"Ayo pulang, Echa! Oya, kamu sudah belajar, kan?"

"Sudah, pastinya! Aku selalu ingat nasehat Ayah untuk rajin belajar, itulah yang membuatku selalu rajin belajar,"

"Ah, Echa. Kamu ini bisa saja. Ayo masuk ke rumah."

Pak Amir dan Echa masuk ke rumah. Pak Amir duduk di kursi meja makan sambil termenung.

"Ayah, mengapa merenung?" tanya Echa.

"Tidak, Ayah hanya ingat Ibu. Dulu, kan, Ibu sering membantu Ayah jika Ayah sedang di toko,"
jawab Ayah lemas.

Tak jarang Pak Amir mengatakan itu sehabis pulang dari toko. Maklum, sejak Ibu pergi karena gagal ginjal, Pak Amir selalu merasa kesepian. Sekarang satu-satunya hiburan Pak Amir adalah Echa. Echa menyadari hal itu, makanya ia selalu berusaha menyenangkan hati Pak Amir, ayahnya yang sangat dicintainya.

"Ayah, jangan sedih, ya. Masih ada Echa yang setia menemani Ayah, kok." hibur Echa sambil tersenyum.

Echa memeluk Ayah sambil sedikit terisak. Ayah pun melakukan hal yang sama dengan Echa. Setelah membersihkan tangan dan kaki, Echa dan ayahnya tidur dengan pulas.

Keesokan harinya, Echa dan ayahnya pergi berjalan-jalan bersama ayahnya di sebuah taman yang dulu sering mereka kunjungi bersama Ibu. Echa memandangi bunga-bunga di taman itu sambil tersenyum.

"Senangnya datang ke taman ini lagi," kata Echa pada Ayah. "Ayah, kita sudah lama sekali, kan, tidak datang ke taman ini,"

Ayah sama sekali tidak merespon perkataan Echa. Ayah sama sekali tidak bergerak di kursi yang didudukinya. Kursi yang dulu sering diduduki Pak Amir bersama Ibu.

"Ayah? Mengapa Ayah diam saja? Bukannya disini menyenangkan?" tanya Echa bingung.

Ayah tetap diam saja. Echa yang bingung pun akhirnya memilih pergi dan berkeliling taman lagi. Ia melihat seorang wanita sedang berjalan santai. Rambutnya panjang hitam tergerai, matanya coklat kehitaman, memakai baju kuning cerah dengan renda di ujung lengannya, dan juga memakai rok panjang yang juga berwarna kuning cerah. Wanita itu persis seperti Ibu ketika terakhir kali bertemu Echa. Echa berlari menghampiri wanita itu, ia penasaran, siapakah wanita itu. Apakah itu Ibu? Ah, tidak mungkin! Ibu, kan, sudah meninggal! Namun apa salahnya mencoba menghampiri wanita itu?

"Permisi, maaf, kalau boleh tahu, siapa nama ibu?"

"Nama saya Indah, dan kamu Echa, kan?"

Indah? Bukannya itu nama Ibu? Dan wanita itu tahu namanya! Apakah Ibu masih hidup? Echa termangu sejenak, kemudian ia langsung memeluk wanita itu, walaupun dia tidak tahu siapa wanita itu.

"IBU!!!!!!!!!!!!!!!!!" teriak Echa sambil memeluk ibunya. "Jadi, Ibu masih hidup?"

Sebelum wanita itu sempat menjawab, seseorang menepuk bahu Echa, membuatnya kaget sekali.

"Ibu! Dimana Ibu? Dimana?" teriak Echa kaget.

"Sadar, Echa! Kamu baru saja bermimpi saat tidur!" kata Ayah menyadarkan Echa. Ternyata, ia hanya bermimpi. "Kamu pasti mimpi bertemu Ibu, kan?"

"Iya, betul. Aku bermimpi bertemu Ibu." kata Echa lemas.

"Tolong ceritakan mimpimu, Echa. Ayah ingin tahu ceritanya."

"Begini, aku bermimpi pergi ke sebuah taman bersama Ayah. Aku menyapa Ayah, namun Ayah sama sekali tak mengatakan apapun, Ayah juga tidak bergerak sedikitpun. Aku pun meninggalkan Ayah, dan aku bertemu seorang wanita yang memakai baju dan rok kuning, persis seperti yang Ibu pakai saat terakhir kali bertemu kita. Aku menanyakan namanya, dan ternyata namanya Indah, dan dia tahu namaku! Aku pun memeluknya, namun sebelum aku sempat menikmati mimpiku lebih lanjut, Ayah membangunkanku," cerita Echa.

"Jadi, begitu. Taman yang kamu maksud itu taman yang dulu sering kita kunjungi bersama Ibu, kan? Lalu kursi tempat aku duduk yang kamu maksud itu yang dulu sering aku duduki bersama Ibu, benar?" tanya Ayah.

"Betul, Ayah. Persis sekali seperti dulu."

Ayah langsung menarik baju Echa, membawanya keluar.

"Cepat mandi dan ganti bajumu! Kita harus pergi ke taman itu!" perintah Ayah dengan terburu-buru.

"Baik, Yah!"

Echa pun langsung mengambil baju, mengambil handuk, kemudian masuk ke kamar mandi. Ia mandi dengan sangat cepat, yaitu 5 menit. Setelah keluar dari kamar mandi, ia menaruh handuk ke tempat jemuran, kemudian naik ke mobil Jeep milik Ayah untuk pergi ke taman yang dulu sering ia kunjungi bersama Ayah dan Ibu.

Begitu turun, Echa langsung berlari ke taman itu. Ia sangat rindu dengan taman itu. Maklum, sejak Ibu pergi, Ayah tak pernah mau datang ke taman ini.

Ayah menepuk bahu Echa dan bertanya, "dimana kamu melihat Ibu di mimpimu?"

"Disana, aku bermimpi berjalan kesana, dan aku bertemu Ibu di dekat air mancur itu!" kata Echa sambil menunjuk air mancur yang tak begitu jauh dari tempat ia berpijak.

"Terima kasih, Echa. Kamu tunggu disini, biar Ayah pergi kesana! Ingat, jangan pergi kemanapun, tetaplah disini! Bila kamu lelah, masuk saja ke dalam mobil!" perintah Ayah.

"Iya, Ayah! Aku takkan pergi, kok,"

Ayah berlari kencang menuju tempat air mancur yang ditunjuk Echa.

"Ah, Ayah ini aneh, deh. Kejadian itu, kan, hanya mimpi?" kata Echa pada dirinya sendiri.

Ayah terus berlari tanpa memedulikan apapun di sekitarnya. Akhirnya, Ayah sampai juga ke tempat air mancur itu berada.

Kira-kira, apakah mimpi Echa itu benar? Ah, tidak mungkin, Indah sudah meninggal! Mana mungkin dia ada di tempat ini? Itulah yang dipikirkan Ayah sekarang.

Ayah terus berlari, hingga sampai di depan air mancur, tempat kedua yang dulu sering dijadikan Ayah tempat duduk bersama Ibu. Ayah duduk sejenak di pinggir air mancur itu, sambil melihat ke kanan dan kiri. Ketika menoleh ke kiri, Ayah melihat seorang wanita. Wanita itu persis seperti Ibu ketika terakhir kali bertemu Ayah.

Tidak, aku pasti hanya mengkhayal! Indah sudah meninggal, tidak mungkin ada Indah disini! pikir Ayah.

Walaupun tidak percaya wanita itu adalah Ibu, Ayah tetap menghampiri wanita itu.

"Maaf, kalau boleh tahu, siapa nama Anda?" tanya Ayah sopan.

"Oh, kamu pasti Amir, suami Indah, kan?" tanya wanita itu. "Aku Indie, saudara kembar Indah. Aku lahir lebih dulu daripada Indah. Sebelum meninggal, Indah sering bercerita mengenai Anda. Indah juga berpesan agar aku memakai baju ini setelah dia meninggal, karena itu aku memakai baju yang sama dengan baju sebelum Indah meninggal, karena dia meninggal saat berkunjung ke rumahku."

"Oh, begitu. Kukira Anda itu siapa. " kata Ayah. "Kalau boleh tahu, dimana rumah Anda?"

"O, tidak jauh. Hanya tinggal belok ke kiri dari taman," kata Indie.

"Baiklah, saya mohon pamit, anak saya sudah menunggu. Bila ada keperluan dengan saya, datang ke rumah saya, atau hubungi nomor rumah saya," kata Ayah sambil menyodorkan secarik kertas berisi alamat rumah dan kebunnya, dan juga nomor rumah dan toko tanamannya.

Ayah pergi meninggalkan Indie, dan kembali ke tempat Echa berada.

"Ayah baru darimana saja, sih? Aku sudah lama menunggu, nih!" kata Echa kesal.

"Maaf, Echa. Ayah terlalu rindu dengan taman ini, jadi rasanya tidak ingin keluar, namun karena Ayah membawamu, ayah terpaksa pulang, deh," kata Ayah dengan ekspresi yang dibuat-buat.

"Untung ada Rena, Yah. Kalau tidak, Echa pasti bosan disini terus, walaupun sebenarnya Echa rindu!" keluh Echa.

"Hahaha, maafkan Ayah, Sayang. Lagipula, siapa Rena? Ayah tak pernah mendengarnya,"

"Rena adalah teman baru Echa. Aku baru berkenalan hari ini. Dia orangnya menyenangkan. Wajahnya juga hampir sama dengan Echa. Dia juga menunggu ibunya yang juga pergi di dekat air mancur, sama seperti Ayah,"

Ayah kaget. Wajah anak itu sama seperti Echa? Apa itu anak Indie, saudara kembar istrinya?

"Apa kamu tahu siapa nama ibu anak itu?"

"Iya, nama ibunya adalah Indie."

"Indie? Dimana anak itu?"

"Itu, sedang memadangi bunga Sepatu putih,"

Ayah berlari mendekat ke anak itu. Ya, dia adalah keponakannya. Ia berusaha menyapa anak itu.

"Halo adik, siapa namanya?"

Anak itu sedikit ketakutan, takut kalau Ayah adalah penculik. Namun akhirnya anak bernama Rena itu tidak lagi takut pada Ayah.

Sebelum Rena sempat menjawab , Indie datang dan menghampiri anaknya, Rena.

"Halo Sayang, maaf membuatmu menunggu. Tadi apa yang kamu lakukan?"

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke Ayah.

"Oh, Amir!Masih disini, ya. Tadi apa yang Rena lakukan?"

"Tidak, dia hanya memandangi bunga Sepatu," jawab Ayah dengan seadanya.

Rena membisikkan sesuatu ke telinga ibunya. Indie mengerutkan dahinya.

"Kita mau mencari dimana?"

Anak itu diam saja.

"Duh, Amir. Anakku meminta bunga Sepatu seperti yang ada di taman ini, tapi kira-kira ada dimana, ya?"

"Datang saja ke toko tanamanku. Disana semua tanaman ada."

"Oya, aku pernah mendengarnya dari Indah. Namun aku tidak membawa mobilku, jadi tidak bisa."

"Tidak apa-apa, naik saja mobilku."

Indie dan Rena naik ke mobil Jeep milik Ayah. Di mobil, Echa banyak berbincang-bincang dengan Rena. Mereka sekarang menjadi sahabat.

Sesampainya di toko tanaman, mereka semua pun turun. Rena kelihatan sangat bahagia. Ia sudah tak sabar ingin memiliki bunga Sepatu putih seperti yang dilihatnya di taman.

"Ya, inilah toko tanamanku," kata Ayah bangga.

Setelah semuanya masuk ke kebun Ayah, Ayah menutup pintu toko. Rena berjalan-jalan di toko tersebut, melihat tanaman-tanaman yang sudah terpajang rapi.

"Disini tidak hanya menjual tanaman dan bunga, tetapi juga bibit dan pupuknya. Disini juga menjual bunga-bunga plastik untuk diberikan ke orang-orang tercinta. Untuk lebih lengkap, bacalah di spanduk di depan toko," kata Ayah, mempromosikan tokonya.

Tiba-tiba, Rena berteriak, mengagetkan semua yang ada di toko tersebut.

"MAMA!!! AKU MAU BUNGA YANG INI!!!" teriak Rena bersemangat.

Indie segera menghampiri Rena dan berkata, "kamu ingin membeli bunga ini? Baiklah, nanti Mama bilang ke Om Amir,"

"Om, Mama?"

"Iya, Om Amir itu yang tadi Rena temui di taman,"

Indie segera menghampiri Ayah dan berkata, "Anakku ingin sebuah bunga Sepatu putih kecil, berapa harganya?"

"Khusus untuk Rena, harganya gratis,"

Indie kaget. Ayah memang orang yang dermawan, Ayah senang membuat orang senang dengan pemberiannya.

"Seriuskah?"

"Iya, khusus untuk Rena. Hari ini tidak ada pelanggan, jadi tidak usah malu dapat gratis," kata Ayah sambil tersenyum.

Indie sedikit terkikik mendengarnya. Indie mengambil bunga Sepatu putih yang diinginkan Rena, kemudian membawanya ke Ayah.

"Apa yang kira-kira harus aku beli jika aku memelihara bunga ini?" tanya Indie.

"Hanya sebuah penyiram dan pupuk," jawab Ayah. "Sebentar kuambilkan, ya,"

Ayah kembali dengan membawa penyiram dan pupuk tanaman. "Ini gratis, kok. Khusus untuk Rena,"

"Ah, jadi malu, deh. Jangan begitu, nanti toko ini bisa rugi, lho," kata Indie malu.

"Oh, tidak, kok. Saya tulus memberikannya,"

Ayah membungkus bunga yang dipilih Rena beserta penyiram dan pupuknya ke sebuah keresek putih, kemudian diberikan ke Indie.

"Oya, bolehkah jika aku ingin membantumu mengurusi toko ini? Sepertinya, kamu bekerja sendirian, ya?" tanya Indie.

"Boleh saja, saya senang jika ada yang ingin membantu mengurusi toko ini, tapi apakah kamu bisa memaklumi jika gaji yang diberikan tidak begitu besar?"

"Ah, tidak perlu gaji. Aku kan, saudaramu. Aku tulus, kok, bekerja disini,"

"Baiklah, toko ini buka setiap hari, tapi jika kamu tidak bisa datang setiap hari, tidak apa-apa. Ka mu bisa mulai bekerja besok," kata Ayah menjelaskan.

"Terima kasih atas semuanya, Amir!"

"Terima kasih juga, Indie!"

Keesokan harinya, Indie sudah mulai bekerja di toko tanaman Ayah. Akhirnya, Ayah berhasil keluar dari keterpurukannya setelah ditinggal oleh Ibu. Sekarang Echa dan ayahnya menemukan saudara baru, saudara yang tak pernah ditemui sebelumnya dan mengubah kehidupan mereka.